Minggu, 07 Agustus 2011

Sultan Syarif Muhammad Alqadrie

0 komentar


Syarif Muhammad Alqadrie,  lahir di Pontianak 8 Januari 1872. Putera tertua Sultan Syarif Yusuf Alqadrie dan Syarifah Zahra Alqadrie ini dilantik sebagai Sultan Pontianak Keenam pada  6 Agustus 1895 ketika ia masih berumur 23 tahun. Sultan Syarif Muhammad Al Qadrie beristri 10 orang dan dikaruniai 13 putra. Adapun istri sultan adalah Syarifah Telaha Al Qadri tidak dikaruniai anak, Syarifah Zubaidah Al Qadri tidak dikaruniai anak, Hajjah Syarifah Aminah (dari Brunei) dikaruniai 4 orang anak yaitu Syarifah Maimunah gelar Ratu Kusumayudha, Syarif Abdul Muthalib gelar Pangeran Muda, Syarif Usman gelar Pangeran Muda dan Syarifah Chadijah gelar Ratu Perbuwijaya. Istrinya Syarifah Zubaidah Al Qadri gelar Maharatu Besar Permaisuri dikaruniai dua anak, yaitu Syarifah Fatimah gelar Ratu Anum Bendahara dan Syarifah Maryam gelar Ratu Laksamana Sri Negara, dari istrinya Syecha Jamillah Syarwani (ibunya dari Turki) dikaruniai 6 anak yaitu Syarif Hamid Al Qadri dikenal dengan Max Al Qadrie (kelaknya sebagai Hamid II), Syarif Mahmud gelar Pangeran Agung Srimaharaja, Syarifah Salmah gelar Fahmud, Syarifah Rahmah, Syarif Hasyim dan Syarif Abdurrachman. Dari istrinya Syarifah Maryam Assagaf Ratu Seberang tidak dikaruniai anak, Encik Entin dikaruniai seorang anak Tengku Mahmud Al Qadri, Encik Timah tidak dikaruniai anak, Daeng Kadariyah tidak dikaruniai anak, dan Daeng Selma tidak dikaruniai anak.

Enam belas tahun kekuasaannya, 23 Juni 1911, Belanda memaksakan perjanjian baru kepada Muhammad yang dilaksanakan 26 Maret 1912. Perjanjian ini tidak lain menghancurkan martabat atau marwah (dignity) kesultanan dan rakyat Pontianak, karena para anggota kesultanan dianggap sebagai pegawai rendahan pemerintah Hindia Belanda. Apapun bentuknya, penjajahan adalah penghancuran martabat dan hak-hak asasi manusia. Meskipun kekuasaannya secara de jure berkurang dan harga diri kesultanan semakin direndahkan Belanda, namun kewibawaan dan pengaruh Sultan Muhammad tetap diakui di hati rakyat. Hal ini antara lain disebabkan pergerakan nasional dan moderenisasi di bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik, seperti pendirian yayasan perguruan/pendidikan, kesehatan, kebudayaa dan kesenian, serta organisasi social dan politik, dilaksanakan oleh sultan sendiri, kerabat kesultanan, tokoh masyarakat, yayasan/organisasi Islam, misi Katolik, zending Protestan, dan sebagainya. Kesemua ini telah mendukung peran dan otoritas sultan yang menyebabkan antara lain masa kekuasaan Sultan Muhammad  merupakan masa pemerintahan terpanjang, 49 tahun, dibanding dengan masa pemerintahan enam sultan lainnya di kesultanan ini.


Sultan Syarif Muhammad, yang memerintah dalam dua zaman, Belanda dan Jepang, telah mendorong terjadinya banyak perubahan di Pontianak. Dalam bidang sosial, ia pertama kali berpakaian kebesaran Eropah sebagai pakaian resmi disamping pakaian Melayu dan mendorong berkembangnya pendidikan dan kesehatan. Di bidang ekonomi, ia melaksanakan perdagangan dengan dalam dan luar negeri seperti dengan Kerajaan Riau, Palembang, Batavia, Banten, Demak, Banjarmasin, Singapura, Johor, Malaka, Hongkong, dan India. Ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropah dan Cina. Khususnya di sektor pertanian dan industri, Sultan Muhammd mendorong petani Melayu, Bugis, Banjar dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa dan kopra serta industri minyak kelapa untuk diekspor ke luar negeri. Dalam bidang politik, ia memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi politik yang dilakukan baik oleh kerabat kesultanan maupun oleh tokoh-tokoh masyarakat lainya.

Peranannya dan kegiatan masyarakat dalam kegiatan di bidang terakhir ini menyebabkan Sultan Muhammad dicurigai dan dibenci oleh dua pemerintahan Belanda dan Jepang. Pada April 1942, Sultan Syarif Muhammad Al Qadrie mengundang para kepala swapraja di Keraton Kadriyah Pontianak. Mereka berkumpul dan membahas situasi daerah yang semakin tidak menentu. Selanjutnya dirumuskan bahwa ketakutan, penderitaan dan kemelaratan dialami penduduk dapat diatasi jika pihak Jepang dapat diusir dari daerah Kalimantan Barat.

Penangkapan skala besar terjadi pada 24 Januari 1944 di Keraton Kadriah, Sultan Muhammad, kerabat kerajaan dan keluarga ditangkap oleh pasukan Kempeitai Jepang. Sultan Muhammad yang pada ketika itu baru saja selesai makan sehabis salat tahajud, diberitahu tentang apa yang sedang terjadi. “Tidak apa-apa, Jepang sedang mencari orang-orangnya,” ucap Sultan dengan tenangnya. Mungkin sesungguhnya kalimat itu masih akan berlanjut, tetapi keburu muncul tentara Jepang yang langsung menangkapnya. Semula Sultan akan diperlakukan juga seperti korban-korban lainnya. Tapi Sultan menolak dan dengan berwibawa berkata tidak akan lari.

Dengan senyum mengembang di wajahnya, Sultan tetap tegak berdiri dan berjalan dengan lancar menuju para serdadu yang telah menunggu di muka Istana. Dengan pakaian biasa serta sarung dan tasbih bergantung di lengannya, terucap salam dari mulut Sultan. Sesekali tangannya memberi isyarat sebagai respon dari ucapan salam yang dilontarkannya. Bahkan Sultan memutar-mutar tasbih di jari telunjuknya terus mengucap kalimat takbir, kalimat yang terlontar dari mulut  Sultan yang juga seorang ulama tersebut.

Peristiwa penangkapan Sultan Syarif Muhammad Al Qadri serta seluruh anak laki-lakinya juga seluruh menantunya—kecuali Syarif Hamid dan Syarif Ibrahim Al Qadrie—dan keluarga kerajaan baik di dalam maupun di luar kompleks keraton berlangsung sampai pukul 03.00 subuh. Keesokan harinya pada 25 Januari 1944 telah berkembang berita penangkapan sultan dan keluarganya, peristiwa penangkapan sultan serta pembesar kerajaan telah menggemparkan penduduk Pontianak, namun tak seorangpun berani bertanya karena takut ancaman kekejaman militer Kempeitai Jepang. Korban pembunuhan yang dilakukan militer Jepang terhadap sultan dan keluarganya di lingkungan Keraton Kadriah, para tokoh masyarakat, ulama dan cendekiawan menjadi perjalanan sejarah kelam bagi penduduk Pontianak. Korban pembunuhan dalam lingkungan Keraton Kadriah Pontianak sedikitnya sebesar 31 jiwa. Peristiwa tersebut sangat menyulitkan guna mencari calon pengganti sultan, karena baik para putra maupun keluarga terdekat ikut ditawan dan dibunuh.

Dua tahun kemudian tempat dimana jenazah Sultan Muhammad dikuburkan baru dapat ditemukan dengan petunjuk dari seorang penggali kuburannya bernama Mat Kapang yang selamat dari pembantaian Jepang. Saat digali kembali, jasad Sultan yang shalih itu masih utuh seperti orang yang baru saja meninggal dunia. Bahkan, menurut kesaksian para penggali, pakaian dan tasbihnya pun masih tampak bagus. Jasad Sultan Syarif Muhammad Alqadrie kemudian dimakamkan kembali di makam para sultan Pontianak di Batulayang.

Kamis, 21 Juli 2011

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia ( PRRI )

0 komentar


 

Pada 15 Februari 1958, sejumlah tokoh militer dan sipil di Padang memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Peristiwa itu merupakan puncak gunung es dari kemelut yang dihadapi bangsa Indonesia pasca-Revolusi. Yang tidak kurang penting adalah telantarnya pembangunan ekonomi, yang membawa kemelaratan banyak orang. Pemerintah pusat di Jakarta meremehkan kejadian di Padang itu sebagai suatu "gerakan separatisme". Tapi pihak daerah yang bergolak melihat tindakan mereka sebagai upaya mencegah jatuhnya Republik Indonesia ke tangan komunisme. 
Sejak pertengahan 1950-an, konflik mulai meningkat di kalangan partai-partai politik yang anti dan pro-komunis. Dalam Pemilu 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) merebut tempat keempat, setelah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Sejak itu, kesadaran akan bahaya komunisme di Indonesia terus meluas. Kekhawatiran itu makin bertambah ketika dalam pemilihan daerah di Jawa pada Juni-Agustus 1957 PKI mengungguli semua partai lain dengan kedudukan nomor satu.
Partai-partai antikomunis, seperti Masyumi dan PSI, mempertaruhkan semua kekuatan untuk menghambat PKI. Tapi kecenderungan Presiden Soekarno memihak PKI menjadikan mereka tak berdaya. Dalam konflik intern, Perang Dingin juga menjadi faktor penting. PSI dan Masyumi dianggap oleh Soekarno sebagai "antek" Barat, tapi bagi kedua partai itu keberpihakan pada Barat adalah strategi untuk menghambat berkuasanya PKI di Indonesia. Ketidakberdayaan itu makin dirasakan ketika Mohammad Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden pada awal Desember 1957. Intimidasi dan provokasi yang dilontarkan media PKI terhadap tokoh-tokoh Masyumi menyebabkan akhirnya, pada Desember 1957, ketua partai itu, Mohammad Natsir, terpaksa menyingkir ke Padang. Dr Sumitro Djojohadikusumo, yang mengalami intimidasi seperti itu, juga terpaksa meninggalkan Jakarta.
Sementara suhu politik di Jakarta terus meningkat, pada saat yang bersamaan di berbagai daerah muncul kritik yang tajam terhadap pemerintah. Masalah utama adalah kemiskinan dan tidak adanya pembangunan ekonomi. Keadaan itu dimanfaatkan oleh para panglima daerah di Sumatera dan Sulawesi untuk mendapat dukungan rakyat atas permasalahan mereka sendiri. Sejak Nasution diangkat kembali oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, muncul rasa ketidakpercayaan kepada Kepala Staf Angkatan Darat, yang pernah dinonaktifkan oleh Soekarno sendiri berkaitan dengan "Peristiwa 17 Oktober 1952" (penolakan militer atas campur tangan sipil dalam "urusan intern militer").
Kekhawatiran muncul ketika itu karena kerja sama Nasution dengan Soekarno diduga bisa memperkuat posisi PKI. Karena itu, ketika Nasution memutuskan untuk melakukan tour of duty (pemindahan tempat kedudukan para panglima), para panglima daerah di luar Jawa membangkang. Pembangkangan itu dimulai di Sumatera Tengah, ketika pada 25 November 1956 Panglima Divisi Banteng Letnan Kolonel Ahmad Husein membentuk Dewan Banteng dan mengambil alih kekuasaan atas provinsi itu. Kemudian Panglima Divisi Bukit Barisan Kolonel Simbolon membentuk Dewan Gajah pada 22 Desember 1957. Dua hari kemudian, di Palembang, Panglima Divisi Gajah membentuk Dewan Gajah. Di Indonesia Timur, pada 2 Maret 1957, Panglima Divisi Wirabuana Letnan Kolonel Sumual membentuk Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Makassar dan mengambil alih kekuasaan atas provinsi itu. Para panglima itu berhasil membuka hubungan dagang dengan Singapura sehingga menghasilkan uang yang banyak untuk digunakan bagi pembangunan daerah. Bahkan dalam beberapa bulan saja Indonesia Timur menjadi sangat makmur.
Akhir Maret 1957, sepuluh perwira staf Markas Besar Angkatan Darat mengambil inisiatif untuk mencari jalan keluar dari kemelut yang sudah meluas menjadi konflik daerah itu. Maksud mereka dibicarakan dengan Perdana Menteri Djuanda, yang ternyata sangat mendukung upaya rekonsiliasi itu. Para perwira Markas Besar Angkatan Darat itu dikirim ke daerah-daerah yang bergolak untuk kemungkinan menyelenggarakan suatu pertemuan nasional di Jakarta. Letkol Sumual, yang menyadari bahwa inisia-tif itu adalah satu-satunya cara penyelesaian, lalu datang ke Jakarta dan menghubungi Djuanda. Dengan Djuanda dia sepakat langkah pertama ke arah musyawarah nasional itu adalah pertemuan antara para tokoh militer dan sipil di daerah bergolak untuk meyakinkan mereka bahwa musyawarah nasional merupakan jalan terbaik.
Pertemuan di Palembang yang direncanakan itu berlang-sung pada 8 September, dua hari sebelum musyawarah nasional dibuka. Kehadiran Mohammad Natsir jelas mempengaruhi keberhasilan pertemuan itu. Bahaya komunisme yang mengancam Indonesia mendapat tekanan khusus dari tokoh politik kawakan ini. Di bawah pengaruhnya, semua eksponen daerah bergolak itu menyatakan solidaritas dan membentuk satu dewan saja dengan nama Dewan Perjuangan. Keputusan yang diambil di Palembang- yang dicantumkan dalam "Piagam Palembang" pada da-sar-nya merupakan usul bersama dari daerah bergolak, yang terdiri atas lima hal: (1) pemulihan dwitunggal Soe-kar-no-Hatta, (2) penggantian pimpinan Angkatan Darat, (3) pembentukan senat di samping Dewan Perwakilan Rakyat untuk mewakili daerah-daerah, (4) melaksanakan otonomi daerah, dan (5) melarang komunisme di Indonesia.
Musyawarah nasional berlangsung di Jakarta pada 10-15 September 1957. Seluruh usul Dewan Perjuangan ternyata diterima, kecuali pembubaran PKI. Bahkan dibentuk suatu panitia yang terdiri atas tujuh orang untuk merehabilitasi para perwira daerah yang oleh Nasution dianggap sebagai pembangkang. Keputusan Panitia Tujuh direncanakan akan diumumkan pada 13 Desember dan para "perwira pembangkang" akan direhabilitasi serta dikembalikan ke kedudukan semula.
Dari kelima usul Dewan Perjuangan itu, dalam perjalanan sejarah, tiga akhirnya terwujud. Pembubaran PKI dilakukan oleh Orde Baru, sementara otonomi daerah dan pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (semacam senat) di samping Dewan Perwakilan Rakyat dilaksanakan pada masa reformasi. 
Namun, sebelum Panitia Tujuh mengumumkan hasilnya, pada 30 November, terjadi upaya pembunuhan Presiden Soekarno ketika ia hendak meninggalkan upacara wisuda putranya di Perguruan Cikini. Tanpa melakukan penelitian yang menyeluruh, pemimpin Angkatan Darat menuduh para perwira daerah sebagai pelaku atau dalangnya. Terutama Kolonel Zulkifli Lubis, perwira intelijen yang disegani, yang menjadi bulan-bulanan. Sekalipun tokoh-tokoh daerah bergolak yakin tidak bersalah, hukuman telah dijatuhkan dan mereka terpaksa menyingkir lagi ke Sumatera untuk menghindari penangkapan. 
Pusat pun mengibarkan bendera perang terhadap daerah-daerah bergolak. Para eksponen pergolakan itu berkumpul lagi di Sungai Dareh, Sumatera Barat, buat membicarakan apa yang harus dilakukan untuk menghadapi permusuhan dari pusat itu. Tokoh politik seperti Mohammad Natsir dan Sumitro Djojohadikusumo ikut aktif dalam pertemuan itu. Bahkan Natsir menganjurkan agar dilakukan perlawanan untuk membela diri. Nada pertemuan itu sesuai dengan ungkapan civis pacem parabellum ("untuk berdamai harus siap berperang"). Para perwira lain dikirim ke Singapura untuk membeli senjata. Peran Sumitro Djojohadikusumo sangat penting dalam hal ini.
Dewan Perjuangan kemudian berapat lagi di Padang dan memutuskan untuk menuntut Presiden Soekarno membubarkan kabinet Djuanda dan membentuk kabinet Hatta-Hamengku Buwono. Jakarta dengan sendirinya menolak. Maka, pada 15 Februari 1958, di Padang dibentuk kabinet tandingan dengan nama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Perang pun tidak dapat dihindari.
Harus diakui, peran pemerintah Amerika Serikat dalam kemelut ini juga penting. Melalui kerja sama Dinas Intelijen Amerika (CIA) dan Departemen Luar Negeri (kakak-adik Dulles), disusunlah sebuah rencana besar untuk membantu pergolakan daerah itu. Namun keinginan Amerika Serikat agar di Padang dibentuk "Negara Sumatera" ternyata tidak dituruti. Para eksponen pergolakan yang turut mendirikan Republik Indonesia tampaknya tidak sampai hati menghancurkan apa yang mereka bangun itu. PRRI ternyata adalah pemerintah nasional yang menca-kup seluruh Indonesia juga (dengan sistem federal). 
Dari rencana besar CIA-Departemen Luar Negeri Amerika Serikat itu, tinggal peran Howard P. Jones yang ikut serta merancang rencana bantuan Amerika tersebut. Ia kemudian dikirim ke Jakarta sebagai duta besar untuk memantau keadaan-berbeda dengan laporan-laporan CIA yang cenderung membesar-besarkan bahaya komunis.
Jones melaporkan bahwa di kalangan pemimpin Angkatan Darat terdapat kekuatan nyata yang antikomunis. Setelah Menteri Luar Negeri John Foster Dulles sakit kanker, pada 1961 Amerika Serikat mengubah strateginya untuk mendukung kekuatan antikomunis di kalangan tentara dan melepaskan dukungannya terhadap pergolakan daerah. Sejak 17 Agustus 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan amnesti bagi semua tokoh yang terlibat peristiwa PRRI.







Rabu, 06 Oktober 2010

Kahar Muzakkar

0 komentar

Abdul Kahar Muzakkar, lahir dari keluarga Bugis berdarah panas, yang tak mengenal kata gentar dalam kamus hidupnya. Nama kecilnya Ladomeng. Lahir 24 Maret 1921, di Kampung Lanipa, Pinrang, Sulawesi Selatan. – meninggal 3 Februari 1965 pada umur 43 tahun. Ia adalah seorang figur karismatik dan legendaris dari tanah Luwu, yang merupakan pendiri Tentara Islam Indonesia di Sulawesi. Ia adalah seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terakhir berpangkat Letnan Kolonel atau Overste pada masa itu.
Dalam buku Revolusi Ketatanegaraan Indonesia, Abdul Kahar Muzakkar pernah menuliskan keterangan tentang dirinya.

“Sedjak masa ketjil saja tidak pernah ditundukkan oleh lawan-lawan saja dalam perkelahian dan sedjak dewasa saja tidak pernah mendjadi “Pak Toeroet” pendapat seseorang di luar adjaran Islam.”

Pada bukunya lain, yang berjudul Tjatatan Bathin Pedjoang Islam Revolusioner, ia kembali mempertegas siapa dirinya dengan mengeja arti namanya.

Abdul artinya hamba, Kahar artinya Tuhan yang Gagah Perkasa, sedangkan Muzakkar memiliki makna jantan. “Jadi, Abdul Kahar Muzakkar berarti: Hamba Tuhan jang bersifat djantan.”

Pada usia remaja, ia telah diminta oleh sang ayah untuk merantau menimba pengetahuan, dan Jawa menjadi tujuannya. Dalam hidupnya, Kahar memang harus menelan pil pahit kekecewaannya. Bahkan ia dikecewakan oleh APRI, setelah begitu lama berbakti. Kahar tidak dijadikan pemimpin bahkan tidak diikutkan dalam operasi-operasi pemulihan ketenteraman di Sulawesi Selatan. Dalam perjalanannya, lasykar yang dipimpinnya dipaksa bubar oleh pemerintahan Soekarno yang baru berdiri. Dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel, ia menjadi perwira tanpa pasukan yang diterlantarkan.Setelah itu, ia masih mencoba untuk berkiprah dengan mendirikan Partai Pantjasila Indonesia.

Akibat kekecewaannya tersebut, bersama dengan pasukan gerilyawan yang setia di bawah komandonya, ia masuk hutan menyatakan perlawanannya terhadap pemerintah pusat. Ia menyatakan perang melawan apa yang disebutnya kezaliman dan pengkhianatan. Dan, konflik yang terjadi merupakan sikap perlawanan melelahkan dan membutuhkan periode yang cukup panjang.
Pada tanggal 7 Agustus 1953, ia memproklamirkan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia. Dan proklamasi ini adalah awal dari babak baru perjuangan Abdul Kahar Muzakkar. Gerakan yang diusungnya ini mendapat simpati dari rakyat, bahkan kemudian, banyak anggota TNI yang disertir, melarikan diri masuk hutan dan bergabung bersama NII Sulawesi Selatan.
Barbara Sillars Harvey (1989), pengamat politik dari Monash University, menilai gerakan Kahar Muzakar bermula dari adanya perasaan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Pusat. Merasa tidak dihargai dan seakan-akan nasibnya ditentukan secara tidak adil oleh orang-orang yang kurang memahami aspirasi daerah. Karena pusat didominasi orang Jawa dan Minahasa, maka sentimen perasaan itu mengalami distorsi menjadi sentimen kesukuan.

Dalam pandangannya, Soekarno dinilai telah menipu bangsa Indonesia dengan keinginannya untuk membentuk “agama Pancasila”.  Sebagai pemimpin, Soekarno terlalu congkak membanggakan kekuasaannya sebagai pemimpin yang berkuasa atas kedaulatan rakyat. Padahal, ia sering mengucap pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.Namun, dalam penilaian Kahar, dalam hal kedaulatan, rakyat “diperkosa” dan ditelan oleh kekuasaannya yang otoriter.
Sebenarnya ia menaruh harapan yang sangat besar pada Soekarno. Ia berharap Soekarno mengawal Indonesia menjadi sebuah negara berdasarkan Islam, yang akan mengantarkannya pada kebesaran.

Dalam sebuah suratnya untuk Soekarno, ia mengutarakan hal tersebut.

“Bung Karno yang saja muliakan. Alangkah bahagia dan Agungnja Bangsa Kita dibawah Pimpinan Bung Karno, jika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Islam, Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, tampil ke muka menjeru Masjarakat Dunia yang sedang dipertakuti Perang Dunia III, dipertakuti kekuasaan Nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala Adjarannja jang ada di dalam kitab sutji Al Qur’an….”

Kahar memang orang yang dihormati di masa itu. Perjuangannya juga banyak mendapat dukungan. Sikapnya bergabung dengan DI/TII, membuat Kahar menjadi sosok yang idealis untuk membentuk negara Islam. Tetapi, Kahar sendiri tidak selamanya setuju dengan paham Kartosoewirjo yang menginginkan Indonesia menjadi negara kesatuan di bawah payung Islam. Ia cenderung membuat Indonesia sebagai negara federal sehingga asas Islam tak perlu diterapkan di seluruh wilayah Negara. Pada tahun 1962, ia memecahkan diri dari Kartosoewirjo dan mendirikan Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) di Sulawesi Selatan.

Sebagai pemimpin, Kahar bersumpah untuk bertindak tegas, radikal, dan revolusioner. Ia juga ingin membersihkan Islam dari pengaruh Feodalisme. Dengan itu, ia meyakinkan rakyatnya bahwa gerakan Islam revolusioner di wilayah Indonesia Timur merupakan pejuang Islam yang paling depan.
Kini, Abdul Kahar Muzakkar hanya dianggap sebagai pemimpin yang keras, tendensius, radikal dan menghancurkan nama Islam. Padahal, yang patut dikagumi dari Kahar adalah sikap idealismenya untuk melawan sistem “bobrok” Soekarno kala itu.Perjuangan Kahar berakhir dalam Operasi Tumpas TNI. Kahar Muzakar tewas tanggal 3 Februari 1965. Ia ditembak mati Kopral Dua Sadeli, anggota Batalyon Kujang 330/Siliwangi, di tepi Sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara. Ia tertembak tiga peluru pun terlontar menembus dada tepat pada waktu 06.05 WIB.
Kematiannya semakin menambah panjang daftar para pejuang yang dikhianati oleh sejarah bangsanya sendiri.


Sabtu, 02 Oktober 2010

Sultan Muhammad Mulya Ibrahim Tsafiuddin

0 komentar



Raden Muhammad Mulia Ibrahim bergelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin adalah Sultan ke-15 Kesultanan Sambas. Putera dari Pangeran Adipati dengan permaisurinya Utin Putri dari Kerajaan Mempawah.  Dilantik menjadi Sultan pada tanggal 2 Mei 1931. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin memerintah Kesultanan Sambas dengan arif bijaksana. Pada masa pemerintahannya kolonial Belanda sudah lama ikut campur dalam segala urusan pemerintahan Kesultanan Sambas. Pada tanggal 17 Juli 1915 diperintahkan oleh Sultan Muhammad Tsafiuddin II kepada Raden Muchsin Panjianom dan Raden Abubakar Panjianom berangkat ke Serang ,Banten,untuk menemani dan membawa Raden Mulia Ibrahim untuk belajar disekolah OSVIA (opleiding Shool Voor Inlandsche Ambtenaar). Pada tanggal 15 Juli 1922 sewaktu Raden Mulia Ibrahim baru duduk ditingkat tiga ia diminta pulang ke Sambas oleh Sultan Muhammad Tsafiuddin II dan bekerja dikantor wakil Sultan di Singkawang (Raden Umar Junid) . kemudian dipindahkan dikantor Wakil Sultan di Bengkayang (Raden Ja’coeb Adiwijaya).Selanjutnya bekerja dikantor Panembahan Ketapang-Matan dibawah pimpinan Gusti Muhammad Saunan. 

Pembangunan Negeri Sambas dibidang pendidikan dan pengajaran tidak mengalami kemajuan mengingat pada masa tahun 1931-1933 situasi dan kondisi Negeri Sambas mengalami krisis ,dan dalam keadaan susah.Kerajaan Belanda terpaksa mengurangi belanja pendidikan dan pengajaran masyarakat,sekolah sekolah :Volksschool (Sekolah Rakyat) 4 tahun,Vervolgsschool atau sekolah sambungan dan Standaardschool (pengganti H I S).Demikian juga Madrasah Sulthaniah mengalami kemunduran .kemudian atas inisiatif dari Maharaja Imam Haji Muhammad Basyuni Imran,Raden Muchsin Panjianom,Raden Abubakar Panjianom ,Daeng Muhammad Harun pada tanggal 19 April 1936 dibentuk sebuah perkumpulan dengan mana “Tarbiyatul Islam” dengan motto :”Bahwa bangsa Sambas tidak akan dapat maju kalau tidak mempunyai Perguruan bangsanya Sendiri”. Para pengurus Tarbiyatul Islam mengorganisir kembali Perguruan Sultaniah bentuk baru sehingga berdiri sebuah sekolah Schakel School.Kemudian perkumpulan Tarbiyatul Islam membuka sebuah lagi sekolah (Schakel School) di Sambas dan 2 buah sekolah agama masing masing di Singkawang dan Pemangkat.

Pada tanggal 1 Mei 1931 Belanda mengikat kontrak politik dengan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiudin,Penyelenggaraan pemerintahan Sambas harus menyesuaikan diri dengan ketentuan yang termaktub dalam Staatsblad Pemerintah Hindia Belanda yang disebut dengan Korte Verklaring atau Akte Van Vereband.kekuasaan Sultan menjadi terbatas,hanya merupakan daerah otonom yang berbentuk Lanschap.Kepada Sultan sebagai Het Zelfbestuur dikuasakan oleh pemerintah Hindia Belanda antara lain untuk melaksanakan hukum agama Islam dan hukum adat.

Pada tahun1933 Sultan Muhammad Mulia Ibrahim membangun istana baru diatas lahan istana lama dan selesai dalam tahun 1935.Dihadapan istana dibangun pintu gerbang (Gapura) bertingkat,dua buah pendopo dipergunakan untuk tamu,pertunjukan kesenian dan lain-lain. Sebelah kiri dan kanan dibangun dua buah pavilyun untuk tamu dari luar daerah serta untuk kantor pribadi Sultan,dan sebelah belakang pavilyun disediakan tempat untuk menyimpan barang –barang khazanah Sambas.

Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiudin beristerikan Raden Marhum Siti binti Pangeran Bendahara Sri Maharaja Muhammad Tayyib,dan Raden Iyah dari Jawa Barat. Dengan isterinya Raden Siti binti Pangeran Sri Maharaja Muhammad Tayyib memperoleh anak : Raden Berti bersuamikan Mas Kailani dari Mempawah, Raden Maryam bersuamikan Daeng Subli Akib dari Kampung Bugis Sambas, Raden Muhammad Taufik (Pangeran Ratu Natakesuma) beristerikan Raden Dare Latifah binti Pangeran Laksamana Raden Hasnan, Raden Gunawan, Raden Anisah bersuamikan Wan Usman dari Singkawang,karena Wan Usman meninggal dunia,kemudian Raden Anisah kawin dengan Daeng Subli Akib, Raden Fatimah, Raden Asmara kawin dengan Bahtiar.

Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin merupakan salah seorang korban pembantaian massal fasis militer Jepang di Kalimantan Barat. Nasib tragis demikian dialami pula oleh sebagian besar kerabat Kesultanan Sambas lainnya, termasuk Pangeran Bendahara Seri Maharaja Muhammad Tayeb.

Wafatnya Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin pada 1943, waktu itu putra mahkota masih berusia sekitar 12 tahun, oleh rezim fasis militer Jepang diangkatlah Raden Muhammad Taufik sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Ratu. Kemudian untuk melaksanakan tugas pemerintahan, fasis militer Jepang pada 25 Maret 1945 sampai 18 Oktober 1945 membentuk Majelis Kesultanan (Zitirijo Hiyogi Kai) terdiri dari Kenkanrikan di Singkawang sebagai penasehat, Demang Sambas Raden Muhammad Siradj sebagai ketua dan anggota terdiri dari Raden Ismail dan Raden Hasnan.

Setelah Jepang menyerah, di Kalimantan Barat, Belanda melalui perantara Sultan Hamid II pada 20 Februari 1946 membentuk dan melantik Majelis Kesultanan Sambas dengan nama Bestuur Commisi terdiri dari Raden Muchsin Pandji Anom Pangeran Temenggung Jaya Kusuma sebagai ketua, Raden Hasnan Pandji Kusuma Pangeran Laksamana sebagai wakil ketua dan Uray Nurdin Pangeran Paku Negara sebagai anggota dengan penasehat Haji Muhammad Basiuni Imran Maharaja Imam Kesultanan Sambas. Dengan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia 1949, Bestuur Commisi melebur ke dalam pemerintahan Swapraja diketuai RM Soetoro dengan Bupati R Hoesni berkedudukan di Singkawang.