Rabu, 06 Oktober 2010

Kahar Muzakkar

0 komentar

Abdul Kahar Muzakkar, lahir dari keluarga Bugis berdarah panas, yang tak mengenal kata gentar dalam kamus hidupnya. Nama kecilnya Ladomeng. Lahir 24 Maret 1921, di Kampung Lanipa, Pinrang, Sulawesi Selatan. – meninggal 3 Februari 1965 pada umur 43 tahun. Ia adalah seorang figur karismatik dan legendaris dari tanah Luwu, yang merupakan pendiri Tentara Islam Indonesia di Sulawesi. Ia adalah seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terakhir berpangkat Letnan Kolonel atau Overste pada masa itu.
Dalam buku Revolusi Ketatanegaraan Indonesia, Abdul Kahar Muzakkar pernah menuliskan keterangan tentang dirinya.

“Sedjak masa ketjil saja tidak pernah ditundukkan oleh lawan-lawan saja dalam perkelahian dan sedjak dewasa saja tidak pernah mendjadi “Pak Toeroet” pendapat seseorang di luar adjaran Islam.”

Pada bukunya lain, yang berjudul Tjatatan Bathin Pedjoang Islam Revolusioner, ia kembali mempertegas siapa dirinya dengan mengeja arti namanya.

Abdul artinya hamba, Kahar artinya Tuhan yang Gagah Perkasa, sedangkan Muzakkar memiliki makna jantan. “Jadi, Abdul Kahar Muzakkar berarti: Hamba Tuhan jang bersifat djantan.”

Pada usia remaja, ia telah diminta oleh sang ayah untuk merantau menimba pengetahuan, dan Jawa menjadi tujuannya. Dalam hidupnya, Kahar memang harus menelan pil pahit kekecewaannya. Bahkan ia dikecewakan oleh APRI, setelah begitu lama berbakti. Kahar tidak dijadikan pemimpin bahkan tidak diikutkan dalam operasi-operasi pemulihan ketenteraman di Sulawesi Selatan. Dalam perjalanannya, lasykar yang dipimpinnya dipaksa bubar oleh pemerintahan Soekarno yang baru berdiri. Dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel, ia menjadi perwira tanpa pasukan yang diterlantarkan.Setelah itu, ia masih mencoba untuk berkiprah dengan mendirikan Partai Pantjasila Indonesia.

Akibat kekecewaannya tersebut, bersama dengan pasukan gerilyawan yang setia di bawah komandonya, ia masuk hutan menyatakan perlawanannya terhadap pemerintah pusat. Ia menyatakan perang melawan apa yang disebutnya kezaliman dan pengkhianatan. Dan, konflik yang terjadi merupakan sikap perlawanan melelahkan dan membutuhkan periode yang cukup panjang.
Pada tanggal 7 Agustus 1953, ia memproklamirkan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia. Dan proklamasi ini adalah awal dari babak baru perjuangan Abdul Kahar Muzakkar. Gerakan yang diusungnya ini mendapat simpati dari rakyat, bahkan kemudian, banyak anggota TNI yang disertir, melarikan diri masuk hutan dan bergabung bersama NII Sulawesi Selatan.
Barbara Sillars Harvey (1989), pengamat politik dari Monash University, menilai gerakan Kahar Muzakar bermula dari adanya perasaan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Pusat. Merasa tidak dihargai dan seakan-akan nasibnya ditentukan secara tidak adil oleh orang-orang yang kurang memahami aspirasi daerah. Karena pusat didominasi orang Jawa dan Minahasa, maka sentimen perasaan itu mengalami distorsi menjadi sentimen kesukuan.

Dalam pandangannya, Soekarno dinilai telah menipu bangsa Indonesia dengan keinginannya untuk membentuk “agama Pancasila”.  Sebagai pemimpin, Soekarno terlalu congkak membanggakan kekuasaannya sebagai pemimpin yang berkuasa atas kedaulatan rakyat. Padahal, ia sering mengucap pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.Namun, dalam penilaian Kahar, dalam hal kedaulatan, rakyat “diperkosa” dan ditelan oleh kekuasaannya yang otoriter.
Sebenarnya ia menaruh harapan yang sangat besar pada Soekarno. Ia berharap Soekarno mengawal Indonesia menjadi sebuah negara berdasarkan Islam, yang akan mengantarkannya pada kebesaran.

Dalam sebuah suratnya untuk Soekarno, ia mengutarakan hal tersebut.

“Bung Karno yang saja muliakan. Alangkah bahagia dan Agungnja Bangsa Kita dibawah Pimpinan Bung Karno, jika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Islam, Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, tampil ke muka menjeru Masjarakat Dunia yang sedang dipertakuti Perang Dunia III, dipertakuti kekuasaan Nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala Adjarannja jang ada di dalam kitab sutji Al Qur’an….”

Kahar memang orang yang dihormati di masa itu. Perjuangannya juga banyak mendapat dukungan. Sikapnya bergabung dengan DI/TII, membuat Kahar menjadi sosok yang idealis untuk membentuk negara Islam. Tetapi, Kahar sendiri tidak selamanya setuju dengan paham Kartosoewirjo yang menginginkan Indonesia menjadi negara kesatuan di bawah payung Islam. Ia cenderung membuat Indonesia sebagai negara federal sehingga asas Islam tak perlu diterapkan di seluruh wilayah Negara. Pada tahun 1962, ia memecahkan diri dari Kartosoewirjo dan mendirikan Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) di Sulawesi Selatan.

Sebagai pemimpin, Kahar bersumpah untuk bertindak tegas, radikal, dan revolusioner. Ia juga ingin membersihkan Islam dari pengaruh Feodalisme. Dengan itu, ia meyakinkan rakyatnya bahwa gerakan Islam revolusioner di wilayah Indonesia Timur merupakan pejuang Islam yang paling depan.
Kini, Abdul Kahar Muzakkar hanya dianggap sebagai pemimpin yang keras, tendensius, radikal dan menghancurkan nama Islam. Padahal, yang patut dikagumi dari Kahar adalah sikap idealismenya untuk melawan sistem “bobrok” Soekarno kala itu.Perjuangan Kahar berakhir dalam Operasi Tumpas TNI. Kahar Muzakar tewas tanggal 3 Februari 1965. Ia ditembak mati Kopral Dua Sadeli, anggota Batalyon Kujang 330/Siliwangi, di tepi Sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara. Ia tertembak tiga peluru pun terlontar menembus dada tepat pada waktu 06.05 WIB.
Kematiannya semakin menambah panjang daftar para pejuang yang dikhianati oleh sejarah bangsanya sendiri.


Sabtu, 02 Oktober 2010

Sultan Muhammad Mulya Ibrahim Tsafiuddin

0 komentar



Raden Muhammad Mulia Ibrahim bergelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin adalah Sultan ke-15 Kesultanan Sambas. Putera dari Pangeran Adipati dengan permaisurinya Utin Putri dari Kerajaan Mempawah.  Dilantik menjadi Sultan pada tanggal 2 Mei 1931. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin memerintah Kesultanan Sambas dengan arif bijaksana. Pada masa pemerintahannya kolonial Belanda sudah lama ikut campur dalam segala urusan pemerintahan Kesultanan Sambas. Pada tanggal 17 Juli 1915 diperintahkan oleh Sultan Muhammad Tsafiuddin II kepada Raden Muchsin Panjianom dan Raden Abubakar Panjianom berangkat ke Serang ,Banten,untuk menemani dan membawa Raden Mulia Ibrahim untuk belajar disekolah OSVIA (opleiding Shool Voor Inlandsche Ambtenaar). Pada tanggal 15 Juli 1922 sewaktu Raden Mulia Ibrahim baru duduk ditingkat tiga ia diminta pulang ke Sambas oleh Sultan Muhammad Tsafiuddin II dan bekerja dikantor wakil Sultan di Singkawang (Raden Umar Junid) . kemudian dipindahkan dikantor Wakil Sultan di Bengkayang (Raden Ja’coeb Adiwijaya).Selanjutnya bekerja dikantor Panembahan Ketapang-Matan dibawah pimpinan Gusti Muhammad Saunan. 

Pembangunan Negeri Sambas dibidang pendidikan dan pengajaran tidak mengalami kemajuan mengingat pada masa tahun 1931-1933 situasi dan kondisi Negeri Sambas mengalami krisis ,dan dalam keadaan susah.Kerajaan Belanda terpaksa mengurangi belanja pendidikan dan pengajaran masyarakat,sekolah sekolah :Volksschool (Sekolah Rakyat) 4 tahun,Vervolgsschool atau sekolah sambungan dan Standaardschool (pengganti H I S).Demikian juga Madrasah Sulthaniah mengalami kemunduran .kemudian atas inisiatif dari Maharaja Imam Haji Muhammad Basyuni Imran,Raden Muchsin Panjianom,Raden Abubakar Panjianom ,Daeng Muhammad Harun pada tanggal 19 April 1936 dibentuk sebuah perkumpulan dengan mana “Tarbiyatul Islam” dengan motto :”Bahwa bangsa Sambas tidak akan dapat maju kalau tidak mempunyai Perguruan bangsanya Sendiri”. Para pengurus Tarbiyatul Islam mengorganisir kembali Perguruan Sultaniah bentuk baru sehingga berdiri sebuah sekolah Schakel School.Kemudian perkumpulan Tarbiyatul Islam membuka sebuah lagi sekolah (Schakel School) di Sambas dan 2 buah sekolah agama masing masing di Singkawang dan Pemangkat.

Pada tanggal 1 Mei 1931 Belanda mengikat kontrak politik dengan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiudin,Penyelenggaraan pemerintahan Sambas harus menyesuaikan diri dengan ketentuan yang termaktub dalam Staatsblad Pemerintah Hindia Belanda yang disebut dengan Korte Verklaring atau Akte Van Vereband.kekuasaan Sultan menjadi terbatas,hanya merupakan daerah otonom yang berbentuk Lanschap.Kepada Sultan sebagai Het Zelfbestuur dikuasakan oleh pemerintah Hindia Belanda antara lain untuk melaksanakan hukum agama Islam dan hukum adat.

Pada tahun1933 Sultan Muhammad Mulia Ibrahim membangun istana baru diatas lahan istana lama dan selesai dalam tahun 1935.Dihadapan istana dibangun pintu gerbang (Gapura) bertingkat,dua buah pendopo dipergunakan untuk tamu,pertunjukan kesenian dan lain-lain. Sebelah kiri dan kanan dibangun dua buah pavilyun untuk tamu dari luar daerah serta untuk kantor pribadi Sultan,dan sebelah belakang pavilyun disediakan tempat untuk menyimpan barang –barang khazanah Sambas.

Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiudin beristerikan Raden Marhum Siti binti Pangeran Bendahara Sri Maharaja Muhammad Tayyib,dan Raden Iyah dari Jawa Barat. Dengan isterinya Raden Siti binti Pangeran Sri Maharaja Muhammad Tayyib memperoleh anak : Raden Berti bersuamikan Mas Kailani dari Mempawah, Raden Maryam bersuamikan Daeng Subli Akib dari Kampung Bugis Sambas, Raden Muhammad Taufik (Pangeran Ratu Natakesuma) beristerikan Raden Dare Latifah binti Pangeran Laksamana Raden Hasnan, Raden Gunawan, Raden Anisah bersuamikan Wan Usman dari Singkawang,karena Wan Usman meninggal dunia,kemudian Raden Anisah kawin dengan Daeng Subli Akib, Raden Fatimah, Raden Asmara kawin dengan Bahtiar.

Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin merupakan salah seorang korban pembantaian massal fasis militer Jepang di Kalimantan Barat. Nasib tragis demikian dialami pula oleh sebagian besar kerabat Kesultanan Sambas lainnya, termasuk Pangeran Bendahara Seri Maharaja Muhammad Tayeb.

Wafatnya Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin pada 1943, waktu itu putra mahkota masih berusia sekitar 12 tahun, oleh rezim fasis militer Jepang diangkatlah Raden Muhammad Taufik sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Ratu. Kemudian untuk melaksanakan tugas pemerintahan, fasis militer Jepang pada 25 Maret 1945 sampai 18 Oktober 1945 membentuk Majelis Kesultanan (Zitirijo Hiyogi Kai) terdiri dari Kenkanrikan di Singkawang sebagai penasehat, Demang Sambas Raden Muhammad Siradj sebagai ketua dan anggota terdiri dari Raden Ismail dan Raden Hasnan.

Setelah Jepang menyerah, di Kalimantan Barat, Belanda melalui perantara Sultan Hamid II pada 20 Februari 1946 membentuk dan melantik Majelis Kesultanan Sambas dengan nama Bestuur Commisi terdiri dari Raden Muchsin Pandji Anom Pangeran Temenggung Jaya Kusuma sebagai ketua, Raden Hasnan Pandji Kusuma Pangeran Laksamana sebagai wakil ketua dan Uray Nurdin Pangeran Paku Negara sebagai anggota dengan penasehat Haji Muhammad Basiuni Imran Maharaja Imam Kesultanan Sambas. Dengan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia 1949, Bestuur Commisi melebur ke dalam pemerintahan Swapraja diketuai RM Soetoro dengan Bupati R Hoesni berkedudukan di Singkawang.