Rabu, 06 Oktober 2010

Kahar Muzakkar

0 komentar

Abdul Kahar Muzakkar, lahir dari keluarga Bugis berdarah panas, yang tak mengenal kata gentar dalam kamus hidupnya. Nama kecilnya Ladomeng. Lahir 24 Maret 1921, di Kampung Lanipa, Pinrang, Sulawesi Selatan. – meninggal 3 Februari 1965 pada umur 43 tahun. Ia adalah seorang figur karismatik dan legendaris dari tanah Luwu, yang merupakan pendiri Tentara Islam Indonesia di Sulawesi. Ia adalah seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terakhir berpangkat Letnan Kolonel atau Overste pada masa itu.
Dalam buku Revolusi Ketatanegaraan Indonesia, Abdul Kahar Muzakkar pernah menuliskan keterangan tentang dirinya.

“Sedjak masa ketjil saja tidak pernah ditundukkan oleh lawan-lawan saja dalam perkelahian dan sedjak dewasa saja tidak pernah mendjadi “Pak Toeroet” pendapat seseorang di luar adjaran Islam.”

Pada bukunya lain, yang berjudul Tjatatan Bathin Pedjoang Islam Revolusioner, ia kembali mempertegas siapa dirinya dengan mengeja arti namanya.

Abdul artinya hamba, Kahar artinya Tuhan yang Gagah Perkasa, sedangkan Muzakkar memiliki makna jantan. “Jadi, Abdul Kahar Muzakkar berarti: Hamba Tuhan jang bersifat djantan.”

Pada usia remaja, ia telah diminta oleh sang ayah untuk merantau menimba pengetahuan, dan Jawa menjadi tujuannya. Dalam hidupnya, Kahar memang harus menelan pil pahit kekecewaannya. Bahkan ia dikecewakan oleh APRI, setelah begitu lama berbakti. Kahar tidak dijadikan pemimpin bahkan tidak diikutkan dalam operasi-operasi pemulihan ketenteraman di Sulawesi Selatan. Dalam perjalanannya, lasykar yang dipimpinnya dipaksa bubar oleh pemerintahan Soekarno yang baru berdiri. Dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel, ia menjadi perwira tanpa pasukan yang diterlantarkan.Setelah itu, ia masih mencoba untuk berkiprah dengan mendirikan Partai Pantjasila Indonesia.

Akibat kekecewaannya tersebut, bersama dengan pasukan gerilyawan yang setia di bawah komandonya, ia masuk hutan menyatakan perlawanannya terhadap pemerintah pusat. Ia menyatakan perang melawan apa yang disebutnya kezaliman dan pengkhianatan. Dan, konflik yang terjadi merupakan sikap perlawanan melelahkan dan membutuhkan periode yang cukup panjang.
Pada tanggal 7 Agustus 1953, ia memproklamirkan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia. Dan proklamasi ini adalah awal dari babak baru perjuangan Abdul Kahar Muzakkar. Gerakan yang diusungnya ini mendapat simpati dari rakyat, bahkan kemudian, banyak anggota TNI yang disertir, melarikan diri masuk hutan dan bergabung bersama NII Sulawesi Selatan.
Barbara Sillars Harvey (1989), pengamat politik dari Monash University, menilai gerakan Kahar Muzakar bermula dari adanya perasaan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Pusat. Merasa tidak dihargai dan seakan-akan nasibnya ditentukan secara tidak adil oleh orang-orang yang kurang memahami aspirasi daerah. Karena pusat didominasi orang Jawa dan Minahasa, maka sentimen perasaan itu mengalami distorsi menjadi sentimen kesukuan.

Dalam pandangannya, Soekarno dinilai telah menipu bangsa Indonesia dengan keinginannya untuk membentuk “agama Pancasila”.  Sebagai pemimpin, Soekarno terlalu congkak membanggakan kekuasaannya sebagai pemimpin yang berkuasa atas kedaulatan rakyat. Padahal, ia sering mengucap pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.Namun, dalam penilaian Kahar, dalam hal kedaulatan, rakyat “diperkosa” dan ditelan oleh kekuasaannya yang otoriter.
Sebenarnya ia menaruh harapan yang sangat besar pada Soekarno. Ia berharap Soekarno mengawal Indonesia menjadi sebuah negara berdasarkan Islam, yang akan mengantarkannya pada kebesaran.

Dalam sebuah suratnya untuk Soekarno, ia mengutarakan hal tersebut.

“Bung Karno yang saja muliakan. Alangkah bahagia dan Agungnja Bangsa Kita dibawah Pimpinan Bung Karno, jika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Islam, Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, tampil ke muka menjeru Masjarakat Dunia yang sedang dipertakuti Perang Dunia III, dipertakuti kekuasaan Nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala Adjarannja jang ada di dalam kitab sutji Al Qur’an….”

Kahar memang orang yang dihormati di masa itu. Perjuangannya juga banyak mendapat dukungan. Sikapnya bergabung dengan DI/TII, membuat Kahar menjadi sosok yang idealis untuk membentuk negara Islam. Tetapi, Kahar sendiri tidak selamanya setuju dengan paham Kartosoewirjo yang menginginkan Indonesia menjadi negara kesatuan di bawah payung Islam. Ia cenderung membuat Indonesia sebagai negara federal sehingga asas Islam tak perlu diterapkan di seluruh wilayah Negara. Pada tahun 1962, ia memecahkan diri dari Kartosoewirjo dan mendirikan Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) di Sulawesi Selatan.

Sebagai pemimpin, Kahar bersumpah untuk bertindak tegas, radikal, dan revolusioner. Ia juga ingin membersihkan Islam dari pengaruh Feodalisme. Dengan itu, ia meyakinkan rakyatnya bahwa gerakan Islam revolusioner di wilayah Indonesia Timur merupakan pejuang Islam yang paling depan.
Kini, Abdul Kahar Muzakkar hanya dianggap sebagai pemimpin yang keras, tendensius, radikal dan menghancurkan nama Islam. Padahal, yang patut dikagumi dari Kahar adalah sikap idealismenya untuk melawan sistem “bobrok” Soekarno kala itu.Perjuangan Kahar berakhir dalam Operasi Tumpas TNI. Kahar Muzakar tewas tanggal 3 Februari 1965. Ia ditembak mati Kopral Dua Sadeli, anggota Batalyon Kujang 330/Siliwangi, di tepi Sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara. Ia tertembak tiga peluru pun terlontar menembus dada tepat pada waktu 06.05 WIB.
Kematiannya semakin menambah panjang daftar para pejuang yang dikhianati oleh sejarah bangsanya sendiri.


Sabtu, 02 Oktober 2010

Sultan Muhammad Mulya Ibrahim Tsafiuddin

0 komentar



Raden Muhammad Mulia Ibrahim bergelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin adalah Sultan ke-15 Kesultanan Sambas. Putera dari Pangeran Adipati dengan permaisurinya Utin Putri dari Kerajaan Mempawah.  Dilantik menjadi Sultan pada tanggal 2 Mei 1931. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin memerintah Kesultanan Sambas dengan arif bijaksana. Pada masa pemerintahannya kolonial Belanda sudah lama ikut campur dalam segala urusan pemerintahan Kesultanan Sambas. Pada tanggal 17 Juli 1915 diperintahkan oleh Sultan Muhammad Tsafiuddin II kepada Raden Muchsin Panjianom dan Raden Abubakar Panjianom berangkat ke Serang ,Banten,untuk menemani dan membawa Raden Mulia Ibrahim untuk belajar disekolah OSVIA (opleiding Shool Voor Inlandsche Ambtenaar). Pada tanggal 15 Juli 1922 sewaktu Raden Mulia Ibrahim baru duduk ditingkat tiga ia diminta pulang ke Sambas oleh Sultan Muhammad Tsafiuddin II dan bekerja dikantor wakil Sultan di Singkawang (Raden Umar Junid) . kemudian dipindahkan dikantor Wakil Sultan di Bengkayang (Raden Ja’coeb Adiwijaya).Selanjutnya bekerja dikantor Panembahan Ketapang-Matan dibawah pimpinan Gusti Muhammad Saunan. 

Pembangunan Negeri Sambas dibidang pendidikan dan pengajaran tidak mengalami kemajuan mengingat pada masa tahun 1931-1933 situasi dan kondisi Negeri Sambas mengalami krisis ,dan dalam keadaan susah.Kerajaan Belanda terpaksa mengurangi belanja pendidikan dan pengajaran masyarakat,sekolah sekolah :Volksschool (Sekolah Rakyat) 4 tahun,Vervolgsschool atau sekolah sambungan dan Standaardschool (pengganti H I S).Demikian juga Madrasah Sulthaniah mengalami kemunduran .kemudian atas inisiatif dari Maharaja Imam Haji Muhammad Basyuni Imran,Raden Muchsin Panjianom,Raden Abubakar Panjianom ,Daeng Muhammad Harun pada tanggal 19 April 1936 dibentuk sebuah perkumpulan dengan mana “Tarbiyatul Islam” dengan motto :”Bahwa bangsa Sambas tidak akan dapat maju kalau tidak mempunyai Perguruan bangsanya Sendiri”. Para pengurus Tarbiyatul Islam mengorganisir kembali Perguruan Sultaniah bentuk baru sehingga berdiri sebuah sekolah Schakel School.Kemudian perkumpulan Tarbiyatul Islam membuka sebuah lagi sekolah (Schakel School) di Sambas dan 2 buah sekolah agama masing masing di Singkawang dan Pemangkat.

Pada tanggal 1 Mei 1931 Belanda mengikat kontrak politik dengan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiudin,Penyelenggaraan pemerintahan Sambas harus menyesuaikan diri dengan ketentuan yang termaktub dalam Staatsblad Pemerintah Hindia Belanda yang disebut dengan Korte Verklaring atau Akte Van Vereband.kekuasaan Sultan menjadi terbatas,hanya merupakan daerah otonom yang berbentuk Lanschap.Kepada Sultan sebagai Het Zelfbestuur dikuasakan oleh pemerintah Hindia Belanda antara lain untuk melaksanakan hukum agama Islam dan hukum adat.

Pada tahun1933 Sultan Muhammad Mulia Ibrahim membangun istana baru diatas lahan istana lama dan selesai dalam tahun 1935.Dihadapan istana dibangun pintu gerbang (Gapura) bertingkat,dua buah pendopo dipergunakan untuk tamu,pertunjukan kesenian dan lain-lain. Sebelah kiri dan kanan dibangun dua buah pavilyun untuk tamu dari luar daerah serta untuk kantor pribadi Sultan,dan sebelah belakang pavilyun disediakan tempat untuk menyimpan barang –barang khazanah Sambas.

Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiudin beristerikan Raden Marhum Siti binti Pangeran Bendahara Sri Maharaja Muhammad Tayyib,dan Raden Iyah dari Jawa Barat. Dengan isterinya Raden Siti binti Pangeran Sri Maharaja Muhammad Tayyib memperoleh anak : Raden Berti bersuamikan Mas Kailani dari Mempawah, Raden Maryam bersuamikan Daeng Subli Akib dari Kampung Bugis Sambas, Raden Muhammad Taufik (Pangeran Ratu Natakesuma) beristerikan Raden Dare Latifah binti Pangeran Laksamana Raden Hasnan, Raden Gunawan, Raden Anisah bersuamikan Wan Usman dari Singkawang,karena Wan Usman meninggal dunia,kemudian Raden Anisah kawin dengan Daeng Subli Akib, Raden Fatimah, Raden Asmara kawin dengan Bahtiar.

Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin merupakan salah seorang korban pembantaian massal fasis militer Jepang di Kalimantan Barat. Nasib tragis demikian dialami pula oleh sebagian besar kerabat Kesultanan Sambas lainnya, termasuk Pangeran Bendahara Seri Maharaja Muhammad Tayeb.

Wafatnya Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin pada 1943, waktu itu putra mahkota masih berusia sekitar 12 tahun, oleh rezim fasis militer Jepang diangkatlah Raden Muhammad Taufik sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Ratu. Kemudian untuk melaksanakan tugas pemerintahan, fasis militer Jepang pada 25 Maret 1945 sampai 18 Oktober 1945 membentuk Majelis Kesultanan (Zitirijo Hiyogi Kai) terdiri dari Kenkanrikan di Singkawang sebagai penasehat, Demang Sambas Raden Muhammad Siradj sebagai ketua dan anggota terdiri dari Raden Ismail dan Raden Hasnan.

Setelah Jepang menyerah, di Kalimantan Barat, Belanda melalui perantara Sultan Hamid II pada 20 Februari 1946 membentuk dan melantik Majelis Kesultanan Sambas dengan nama Bestuur Commisi terdiri dari Raden Muchsin Pandji Anom Pangeran Temenggung Jaya Kusuma sebagai ketua, Raden Hasnan Pandji Kusuma Pangeran Laksamana sebagai wakil ketua dan Uray Nurdin Pangeran Paku Negara sebagai anggota dengan penasehat Haji Muhammad Basiuni Imran Maharaja Imam Kesultanan Sambas. Dengan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia 1949, Bestuur Commisi melebur ke dalam pemerintahan Swapraja diketuai RM Soetoro dengan Bupati R Hoesni berkedudukan di Singkawang.




Selasa, 28 September 2010

Panembahan Gusti Muhammad Saunan

0 komentar

Panembahan Gusti Muhammad Saunan merupakan cucu dari Panembahan Sabran yang dinobatkan sebagai pewaris tahta kerajaan karena sang putra mahkota, anak pertama Panembahan Sabran yang bernama Pangeran Ratu Gusti Muhammad Busra, wafat terlebih dulu dari ayahnya. Ketika dilantik sebagai pemimpin kerajaan pada 1909, Gusti Muhammad Saunan (putra pertama Gusti Muhammad Busra) masih belum cukup dewasa, maka kendali pemerintahan dipegang oleh Uti Muchsin Pangeran Laksamana Anom Kesuma Negara (paman Gusti Muhammad Saunan/adik Gusti Muhammad Busra). Gusti Muhammad Saunan resmi menjabat sebagai Panembahan Matan pada 1922 bergelar Panembahan Gusti Muhamad Saunan. Di masa Perang Dunia II, dalam kekuasaan fasis militer Balatentara Pendudukan Jepang, Gusti Saunan merupakan salah seorang korban kebengisan, kekejaman dan kekejian balatentara pendudukan militer ini di Kalimantan Barat.
Panembahan Gusti Muhamad Saunan raib di masa fasis Jepang tanpa meninggalkan keturunan. Namun, sewaktu Gusti Saunan belum mencukupi usianya menduduki tahta, untuk sedikit waktu tahta dijabat oleh pamannya, Pangeran Laksemana Uti Mukhsin (1908-24). Dengan hilang lenyapnya Panembahan Saunan (diperkirakan dalam tahun 1944), kekosongan pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh tiga orang pewaris kerajaan. Masing-masing Uti Halil Pangeran Mangku Negara, Uti Aflah Pangeran Adipati dan Uti Kencana Pangeran Anom Laksemana. Ketiganya (1945-46) ditetapkan sebagai anggota Majelis Pemerintahan Kerajaan Matan (MPK Matan atau MPKM).

Minggu, 26 September 2010

Teungku M. Daud Beureueh

0 komentar

Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan pada 15 September 1899 di sebuah kampung bernama "Beureueh", daerah Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh adalah sebuah kampung heroik Islam, sama seperti kampung Tiro. Ayahnya seorang ulama yang berpengaruh di kampungnya dan mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan sebutan "Imeuem (imam) Beureueh". Teungku Daud Beureueh tumbuh dan besar di lingkungan religius yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu formative age yang sarat dengan nilai-nilai Islam di mana hampir saban magrib Hikayat Perang Sabil dikumandangkan di setiap meunasah (masjid kampung). Ia juga memasuki masa dewasa di bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat mengilhami langkah hidupnya kemudian.

Orang tuanya memberi nama Muhammad Daud (dua nama Nabiyullah yang diberikan kitab Alquran dan Zabur). Dari penamaan ini sudah terlihat, sesungguhnya yang diinginkan orang tuanya adalah bila besar nanti ia mampu mengganti posisi dirinya sebagai ulama sekaligus mujahid yang siap membela Islam. Karena itu, pada masa-masa usia sekolah, ayahnya tidak memasukkan beliau ke lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda seperti: Volkschool, Goverment Indlandsche School, atau HIS. Namun lebih mempercayakan kepada lembaga pendidikan yang telah lama dibangun ketika masa kerajaan Islam dahulu semodel dayah/zawiyah.

Sekalipun tidak mendapatkan pendidikan Belanda, namun dengan kecerdasan dan kecepatannya berpikir, beliau mampu menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya itu, termasuk bahasa Belanda. Kebiasaannya mengkonsumsi ikan, yang merupakan kebiasaan masyarakat Aceh, telah membuatnya menjadi quick-learner (mampu belajar cepat). Dalam usia yang sangat muda, 15 tahun, ia sudah menguasai ilmu-ilmu Islam secara mendalam dan mempraktekkannya secara konsisten. Dengan segera pula ia menjadi orator ulung, sebagai "singa podium." Ia mencapai popularitas yang cukup luas sebagai salah seorang ulama di Aceh. Karena itu, beliau mendapat gelar "Teungku di Beureueh" yang kemudian orang tidak sering lagi menyebut nama asli beliau, tetapi nama kampungnya saja.

Teungku Daud Beureueh adalah "Bapak Orang-Orang Aceh" yang tetap tegar meski dikecewakan oleh kaum fasiqun di Jakarta. Dengan postur tubuhnya yang kurus tapi kuat, ia adalah tipe manusia ideal. Sebagaimana dicatat oleh Compton, dari bawah pecinya, rambut kelabunya yang dipangkas pendek kontras dengan wajahnya yang muda dan coklat kemerahan. Bicaranya lugas, bahkan pernyataannya banyak yang blak-blakan.Daud Beureueh dikenal luas sebagai Gubernur Militer Aceh selama tahun-tahun revolusi. Tetapi ketika jabatannya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dicabut oleh PM Mohammad Natsir, ia hidup tenang-tenang di desanya --tampaknya seperti pensiun.

Setelah Aceh masuk ke dalam Republik Indonesia Komunis (RIK) di bawah panji Pancasila, Daud Beureueh diberi jabatan Gubernur Kehormatan dan diminta menetap di Jakarta sebagai penasihat di Kementerian Dalam Negeri. Ia tidak menerima penghormatan ini. Satu-satunya tindakan pentingnya yang diketahui umum adalah pada saat ia mengetuai Musyawarah Ulama Medan, April 1951. Setelah musyawarah itu, Daud Beureueh melakukan tur singkat keliling Aceh, memberikan ceramah-ceramah provokatif bernada mendukung ide Negara Islam. Ia kemudian kembali ke desanya, dan --membuat takjub penduduk Medan yang sudah maju-- membangun sebuah tembok besar dan masjid sungguhan dengan tangannya sendiri. Daud Beureueh lebih tampak sebagai pensiunan perwira militer ketimbang sebagai ahli agama, meskipun ia menyandang gelar teungku.

Daud Beureueh bicara dengan gelora dan kesungguhan tentang perlunya pembaruan. Setelah semua kemungkinan terbentuknya sistem politik Islam sirna dan janji-janji Soekarno akan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam tidak pernah ditepati, maka jiwa jihad Teungku Daud Beureueh pun bergolak. Ia kemudian menjadikan Aceh sebagai "Negara Bagian Aceh-Negara Islam Indonesia" (NBA-NII) dan berjuang hingga tahun 1964 di gunung-gemunung Tanah Rencong. Soekarno, meskipun terkenal hebat di mata orang-orang Aceh, namun karena penipuannya terhadap orang Aceh, nama Soekarno identik dengan berhala yang harus ditumbangkan.

Ketika itu Teungku Daud Beureueh masih berharap dengan Pemilu, namun setelah ia sendiri terjungkal oleh seorang Perdana Menteri yang merupakan output dari sistem pemilu, ia kemudian melabuhkan harapan hanya pada perjuangan fisik. Islam telah dikalahkan secara diplomatis oleh kemenangan-kemenangan Partai Islam yang tidak memberi manfaat apapun bagi asersi politik Islam.


Akibat sikapnya ini, Teungku Abu Daud Beureueh kemudian dilumpuhkan secara sistematis oleh Pemerintah Orde Baru. Ia kemudian meninggal pada tahun 1987 dalam keadaan buta --buta yang disengaja oleh Orde Baru-- dan dalam suatu prosesi pemakaman yang sangat sederhana, tanpa penghormatan yang layak dari orang-orang Aceh yang sudah terkontaminasi oleh ide-ide sekuler.

Referensi :  Suara Hidayatullah, 1999


Minggu, 19 September 2010

Syarif Saleh Al Aydrus

0 komentar

Tuan Kubu Syarif Saleh Al Aydrus lahir di Ambawang Kubu Rabu 11 Zulhijjah 1300 H bersamaan 14 Juli 1883. Ibunya Syarifah Seha binti Syarif Umar Al Baraqbah. Wafat 7 Rajab 1363 H bersamaan 28 Juni 1944 akibat kekejaman balatentara Jepang di masa Perang Dunia II.Beliau memerintah Kubu dari tahun 1919 - 1944.

Semasa hidupnya Tuan Kubu Syarif Saleh Al Aydrus didampingi 4 orang istri. Masing-masing 1). Syarifah Telaha binti Tuan Kubu Syarif Hasan Al Aydrus (Raja Kubu Kelima) dikaruniai 3 anak, yaitu Syarif Husin, Syarif Abdurrahman dan Syarif Abubakar. 2). Enci’ Rahmah binti Bujang, mendapatkan 3 anak, yaitu Syarif Ahmad (1914—1944, korban keganasan Jepang), Syarifah Aisyah (bersuami Syarif Yusuf bin Said Al Qadri Patih Suri Negara Kubu), dan Syarif Usman. 3). Raden Ning binti Muhammad Syarif dikaruniai seorang anak Syarifah Chadidjah, dan 4). Daeng Leha binti Dalek, tidak beranak.

Masa pemerintahan Tuan Kubu Syarif Saleh Al Aydrus bin Idrus bin Abdurrahman bin Alwi bin Idrus Al Aydrus (turunan penguasa Ambawang) Kerajaan Kubu dibagi dalam 3 Onder Distrik. Masing-masing Telok Pakedai (dikepalai Saidi bin Said), Batu Ampar (Burhanuddin) dan Kubu (Syarif Ahmad bin Syarif Saleh Al Aydrus). Belakangan Onder Distrik Kubu dipimpin Syarif Yusuf bin Husin bin Saleh Al Aydrus sejak 1 Agustus 1942, sejak Ahmad ditetapkan sebagai Raja Muda Kubu. Namun 1 Maret 1943, Yusuf meletakkan jabatannya. Pada 20 Februari 1944, Tuan Kubu (Dokoh) Syarif Saleh diciduk balatentara pendudukan Jepang. Keesokan harinya, 21 Februari, Raja Muda Kubu Ahmad, juga diciduk menyusul ayahnya. Maka kemudian barulah diketahui, pada 28 Juni 1944, bersama pemuka Kalimantan Barat lainnya, Tuan Kubu Saleh dan Raja Muda Ahmad, termasuk korban pembantaian Jepang.

Jumat, 17 September 2010

AHMED DEEDAT

0 komentar

Sheikh Ahmed Hoosen Deedat (lahir 1 Juli 1918 – meninggal 8 Agustus 2005 pada umur 87 tahun) adalah seorang sarjana Muslim dalam bidang perbandingan agama. Ia juga merupakan seorang pengarang, dosen, dan juga orator. Ia dikenal sebagai salah satu pembicara handal dalam debat public tentang masalah keagamaan. Pada 1957, Deedat bersama dua orang temannya, mendirikan Islamic Propagation Centre International (IPCI) dan ia menjadi presidennya hingga 1996. Deedat wafat pada 2005 akibat mengalami stroke yang telah dideritanya sejak tahun 1996.

Masa kecil
 
Ahmed Hoosen Deedat lahir di daerah Surat, India, pada tahun 1918. Ia tidak dapat berkumpul dengan ayahnya sampai tahun 1926. Ayahnya adalah seorang penjahit yang karena profesinya hijrah berimigrasi ke Afrika Selatan tidak lama setelah kelahiran Ahmed Deedat.

Tanpa pendidikan formal dan untuk menghindar dari kemiskinan yang sangat pedih, Ahmed Deedat pergi ke Afrika Selatan untuk dapat hidup bersama ayahnya pada tahun 1927. Perpisahan Deedat dengan ibunya pada tahun kepergiannya ke Afrika Selatan menyusul ayahnya itu adalah saat terakhir ia bertemu ibunya dalam keadaan hidup karena beliau meninggal beberapa bulan kemudian.

Di negeri yang asing, seorang anak laki-laki kecil berusia 9 tahun tanpa berbekal pendidikan formal dan penguasaan bahasa Inggris mulai menyiapkan peran yang harus dimainkannya berpuluh-puluh tahun kemudian tanpa disadarinya.

Dengan ketekunannya dalam belajar, anak laki-laki kecil tersebut tidak hanya dapat mengatasi hambatan bahasa, tetapi juga unggul di sekolahnya. Kegemaran Deedat membaca menolongnya untuk mendapatkan promosi sampai ia menyelesaikan standar 6. Kurangnya biaya menyebabkan sekolahnya tertunda dan di awal usia 16 tahun untuk pertama kalinya ia bekerja dalam bidang retail (eceran).

Yang terpenting dari ini semua adalah pada tahun 1936 sewaktu Ia bekerja pada toko muslim di dekat sebuah sekolah menengah Kristen di pantai selatan Natal. Penghinaan yang tak henti-hentinya dari siswa misionaris menantang Islam selama kunjungan mereka ke toko menanamkan dendam yang membara pada diri anak muda tersebut untuk melakukan aksi menghentikan propaganda mereka yang salah.
Mempelajari Alkitab
Ahmed Deedat menemukan sebuah buku berjudul Izharul-Haq yang berarti mengungkapkan kebenaran. Buku ini berisi teknik-teknik dan keberhasilan usaha-usaha umat Islam di India yang sangat besar dalam membalas gangguan misionaris Kristen selama penaklukan Inggris dan pemerintahan India. Secara khusus, ide untuk menangani debat telah berpengaruh besar dalam diri Ahmed Deedat.

Beberapa minggu setelah itu, Ahmed Deedat membeli Injil pertamanya dan mulai melakukan debat dan diskusi dengan siswa-siswa misionaris. Ketika siswa misionaris tersebut mundur dalam menghadapi argumen balik Ahmed Deedat, ia secara pribadi memanggil guru teologi mereka dan bahkan pendeta-pendeta di daerah tersebut.

Keberhasilan-keberhasilan ini memacu Ahmed Deedat untuk berda'wah. Bahkan perkawinan, kelahiran anak, dan persinggahan sebentar selama tiga tahun ke Pakistan sesudah kemerdekaannya tidak mengurangi keinginannya untuk membela Islam dari penyimpangan-penyimpangan yang memperdayakan dari para misionaris Kristen.

Dengan semangat misionaris untuk menyebarkan agama Islam, Ahmed Deedat membenamkan dirinya pada sekumpulan kegiatan lebih dari tiga dekade yang akan datang. Ia memimpin kelas untuk pelajaran Injil dan memberi sejumlah kuliah. Ia mendirikan As-Salaam, sebuah institut untuk melatih para dai Islam. Ahmed Deedat, bersama-sama dengan keluarganya, hampir seorang diri mendirikan bangunan-bangunan termasuk masjid yang masih dikenal sampai saat ini.

Ahmed Deedat anggota awal dari Islamic Propagation Centre International (IPCI) dan menjadi presidennya, sebuah posisi yang dipegangnya sampai tahun 1996. Ia menerbitkan lebih dari 20 buku dan menyebarkan berjuta-juta salinan gratis. Ahmed Deedat mengirim beribu-ribu materi kuliah ke seluruh dunia dan mendebat pengabar-pengabar Injil pada debat umum. Beberapa ribu orang telah menjadi Islam sebagai hasil usahanya.
Sebagai penghargaan yang pantas untuk prestasi yang bersejarah itu, ia mendapat penghargaaan internasional dari Raja Faisal tahun 1986. Penghargaan bergengsi yang sangat berharga dalam dunia Islam.
Akhir hayat
Di sisa sembilan tahun usia hidupnya, Ahmed Deedat hanya bisa terbaring di tempat tidurnya di Verulam, Afrika Selatan. Dan akhirnya pada 8 Agustus 2005, ia meninggal di rumahnya di Trevennen Road di Verulam, provinsi KwaZulu-Natal, Durban. Ia lantas dimakamkan di pemakaman Verulam.


Selasa, 14 September 2010

Sejarah Kerajaan Sintang

0 komentar

Masa Kerajaan Sintang Hindu

     Diperkirakan kerajaan Sintang awalnya terletak di Desa Tabelian Nanga Sepauk, berjarak sekitar 50 km dari Kota Sintang (saat ini). Aji Melayu diperkirakan merupakan nenek moyang raja-raja atau sultan-sultan di Kesultanan Sintang. Ia merupakan penyebar agama Hindu dari Tanah Balang (Semenanjung Malaka) ke Sepauk. Awalnya, ia menetap di Kunjau, dan kemudian pindah ke Desa Tabelian Nanga Sepauk hingga akhir hayatnya. Ia menikah dengan Putung Kempat, dan dikaruniai seorang putri, Dayang Lengkong. Dayang Lengkong memiliki garis keturunan yang merupakan para pewaris tahta kekuasaan di Kerajaan Sintang Hindu berikutnya, yaitu:  Abang Panjang, Demong Karang, Demong Kara, Demong Minyak, Dayang Setari, Hasan, Demang Irawan (Jubair Irawan I) dan Dara Juanti.

     Pada abad ke-XIII, Demong Irawan (Jubair Irawan I) memindahkan pusat kerajaan ke Senentang, terletak di persimpangan Sungai Kapuas dan Muara Melawi. Nama Senentang ini lambat-laun lebih dikenal dengan sebutan Sintang. Sebenarnya, penggunaan nama Sintang (Senentang) mulai berlaku sejak zaman pemerintahan Demong Irawan. Pada masa ini, wilayah Kerajaan Sintang mencakup Sepauk dan Tempunak.

    Setelah Demong Irawan wafat, tahta kekuasaan dipegang oleh Dara Juanti. Dara Juanti menikah dengan Patih Legender  yang berasal dari kerajaan Majapahit. Pada masa pemerintahan Dara Juanti, Kerajaan Sintang pernah mengalami masa kemajuan dan kemakmuran. Setelah Dara Juanti mengundurkan diri kerajaan Sintang mengalami kemunduran,tidak terdengar lagi seolah-olah kerajaan Sintang sudah tidak ada lagi. Baru beratus-ratus tahun kemudian muncul Abang Samad sebagai raja dari keturunan Dara Juanti.

    Setelah Abang Samad, tampuk pimpinan Kesultanan Sintang dipegang secara berturut-turut oleh: Jubair Irawan II, Abang Suruh dan Abang Tembilang. Kemudian Abang Pencin yang bergelar Pangeran Agung. Abang Pencin merupakan penguasa terakhir di Kerajaan Sintang Hindu. Ia juga merupakan raja yang menganut Islam pertama kali di Sintang. Masa pemerintahan Abang Pencin dapat dikatakan sebagai babak baru masa Kesultanan Sintang Islam.

Masa Kesultanan Sintang Islam

    Setelah Abang Pencin meninggal, tahta kekuasaan di Kesultanan Sintang dipegang oleh putranya, Abang Tunggal dengan gelar Pangeran Tunggal. Sebelum meninggal, Pangeran Tunggal pernah berwasiat agar Abang Nata menggantikan dirinya. Abang Nata merupakan anak dari kakak perempuan Pangeran Tunggal, Nyai Cili, yang menikah dengan Mangku Negara Melik. Pangeran Tunggal sebenarnya memiliki dua orang putra, yaitu Pangeran Purba dan Abang Itut. Namun, Pangeran Purba telah menikah dengan putri dari Sultan Nanga Mengkiang dan kemudian menetap selamanya di sana. Sementara itu, Abang Nata masih berumur 10 tahun. Oleh karena kondisi semacam ini, Pangeran Tunggal melakukan sebuah cara, yaitu menunjuk dua orang menteri, Mangku Negara Melik dan Sina Pati Laket. Setelah dewasa, Abang Nata mulai memimpin Kesultanan Sintang. Ia bergelar Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa‘adul Khairi Waddin. Ia merupakan pemimpin pertama di Sintang yang menggunakan gelar sultan.



Pada masa pemerintahan Sultan Nata, banyak terjadi kemajuan di Kesultanan Sintang. Pada masa ini, mulai dibangun masjid pertama kali yang letaknya di ibu kota kesultanan, meski hanya dengan kapasitas 50 orang. Pada masa ini pula, wilayah kekuasaan Sintang meluas hingga ke daerah Ketungau Hilir dan Ketungau Hulu, hingga ke daerah perbatasan Serawak, Kalimantan Tengah, dan Melawi. Di samping mengalami kemajuansecara fisik, ada sejumlah keputusan penting terkait dengan Kesultanan Sintang yang ditetapkan dalam sebuah rapat, yaitu:


    1. Ditetapkannya Sintang sebagai Kesultanan Islam

    2. Pemimpin Kesultanan Sintang bergelar Sultan

    3. Disusunnya Undang-undang Kesultanan yang terdiri dari 32 pasal

    4. Didirikannya masjid sebagai tempat ibadah

    5. Dibangunnnya istana kesultanan


    Sultan Nata menikah dengan Putri Dayang Mas Kuma, putri dari Sultan Sanggau. Dari hasil pernikahan ini, Sultan Nata dikaruniai seorang putra, Adi Abdurrahman. Sultan Nata meninggal pada tahun 1150 H, dan dimakamkan di Kampung Sungai Durian Sintang. Putranya, Adi Abdurrahman kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin atau dengan sebutan lain, Sultan Pikai atau Sultan Aman,karena semasa beliau berkuasa rakyat aman sentosa tak pernah terjadi kekacauan.

    Sultan Abdurrahman menikah dengan Utin Purwa, putri Sultan Sanggau. Mereka dikaruniai dua orang anak, Raden Machmud dan Adi Abdurrosyid. Sultan Abdurrahman menikah lagi (tidak diketahui identitasnya), yang kemudian dikaruniai seorang putra bernama Abang Tole. Setelah Sultan Abdurrahman meninggal, tahta kekuasaan Sintang dipegang oleh putranya, Adi Abdurrosyid dengan gelar Sultan Abdurrosyid Muhammad Jamaluddin. Sementara itu, anaknya yang lain, Raden Machmud diangkat sebagai Mangkubumi.

    Pada masa Sultan Abdurrosyid, dibangun sebuah masjid baru yang menggantikan masjid lama. Ia tidak lama berkuasa karena jatuh sakit. Pada tahun 1210 H, ia meninggal, dan dimakamkan di Kampung Sungai Durian Sintang. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Adi Noh dengan gelar Pangeran Ratu Adi noh Muhammad Qomaruddin. Pada masa pemerintahan Adi Noh, sejumlah rombongan asal Belanda datang pertama kali ke Sintang, tepatnya pada bulan Juli 1822 M, yang dipimpin oleh Mr. J.H. Tobias, seorang Komisaris dari Kust van Borneo.

    Pada bulan November tahun yang sama, Pangeran Ratu Adi Noh Muhammad Qomaruddin meninggal dunia karena sakit parah. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh Gusti Muhammad Yasin dengan gelar Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin. Pada bulan ini, datang rombongan Belanda yang kedua, di bawah pimpinan Dj. van Dungen Gronovius dan Cf. Golman, dua pejabat tinggi, yang ditemani oleh Pangeran Bendahara Pontianak, Syarif Ahmad Alkadrie, sebagai juru bicara.

    Misi Belanda tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan dan kerja sama dagang, yang tertuang dalam Voorlooping Contract (Kontrak Sementara). Kontrak ini ditandatangani pada tanggal 2 Desember 1822 M. setelah itu, muncul beberapa perjanjian lainnya (1823, 1832, 1847, 1855). Secara umum, perjanjian-perjanjian tersebut lebih banyak menguntungkan pihak Belanda untuk melakukan intervensi terhadap pemerintahan dalam negeri Kesultanan Sintang. Alhasil, intervensi tersebut berdampak negatif terhadap masa depan pemerintahan Kesultanan Sintang.

   
Pada tahun 1855 M, Pangeran Adipati digantikan oleh putranya yang bernama Adi Abdurrasyid Kesuma Negara dengar gelar Panembahan Abdurrasyid Kesuma Negara I. Setelah Panembahan Abdurrasyid meninggal, tahta kekuasaan dipegang oleh Abang Ismail dengan gelar Panembahan Gusti Ismail Kesuma Negara II. Setelah Panembahan Ismail meninggal, tahta kekuasaan dipegang oleh anaknya, Gusti Abdul Majid dengan gelar Panembahan Gusti Abdul Majid Kesuma Negara III. Gusti Abdul Majid ditangkap dan dibuang ke Bogor oleh Belanda karena dituduh tidak mau membantu Belanda dalam menyerang pasukan Panggi.

Menghadapi kevakuman pejabat Sintang maka Pemerintah Belanda menunjuk Ade Muhammad Djoen putera Pangeran Temenggung Agama G.M Isya sebagai Wakil Panembahan. Sejak saat itu, sistem pemerintahan Kesultanan Sintang sepenuhnya berada di bawah kontrol kekuasaan kolonial Belanda.


   
Pada tahun 1934 Ade Muhammad Djoen meninggal dunia. Hasil musyawarah keluarga raja-raja Sintang dengan wakil pemerintah Belanda menetapkan putera Gusti Abdul Majid,Raden Abdulbachri Danu Perdana sebagai Panembahan Kerajaan Sintang. Pada masa beliau lah berhasil dibangun Masjid Jami Sultan Nata dan Istana al Mukaramah. Pada tahun 1944 Panembahan Sintang bersaudara dan para bangsawan terpelajar serta  tokoh-tokoh masyarakat ditangkap oleh Jepang dan dibawa ke pontianak. Selanjutnya dibunuh secara massal di Mandor.

   
Kemudian pemerintah Jepang mengangkat Raden Muhammad Chalidi Tsafiudin. Karena pada waktu itu raja masih berusia 6 tahun,maka untuk memangku jabatan raja diangkatlah Raden Syamsuddin sebagai Panembahan Sintang. Namun pada tahun 1946 Raden Syamsuddin diberhentikan oleh pemerintah NICA (Belanda) dari jabatan Panembahan,karena terbukti terlibat dalam gerakan Merah Putih di Nanga Pinoh tanggal 15 November 1946 yang dinilai gerakan ini melawan pemerintah Belanda yang akan memerintah kembali di daerah Sintang. Sebagai penggantinya diangkatlah Ade Muhammad Djohan sebagai Ketua Majelis Kerajaan Sintang.

   
Kesultanan Sintang merupakan satu-satunya kesultanan di Kabupaten Sintang yang masih eksis hingga akhirnya “bubar” pada tanggal 1 April 1960 M. Sejak tahun 1966, Sintang merupakan Daerah Tingkat II (Kabupaten) di Provinsi Kalimantan Barat. Ibu kotanya adalah Sintang. Setelah Reformasi  Sri Sultan Kusuma Negara V bergelar Pengeran Ratu Sri Negara Raden Ichsani Perdana Tsafiudin,putra dari Panembahan  Raden Abdulbahri Danu Perdana dikukuhkan sebagai Sultan Kraton Al Mukaramah Sintang. 






Senin, 13 September 2010

Pasukan Khusus Yanisari

2 komentar

Yanisari atau Jannisaries dalam bahasa barat adalah sekumpulan tentara pilihan dan elit pada masa berkuasanya Turki Ottoman.Andil mereka dalam berperang sangat menentukan.Umumnya para Jannisaries menyandang sebuah senapan kuno,namun sebenarnya mereka lebih ke “ninja” daripada  sekedar “penembak”.Mereka sering ditugaskan menyamar dan melakukan Spionase di kerajaan musuh.Tak tanggung-tanggung mereka mendapat risiko bahwa bila mereka tertangkap musuh saat menyamar,Kerajaan Turki Ottoman tak akan mengakui kalau orang yang tertangkap itu mata-mata Turki.Jadi Semua Jannisaries harus menanggung beban kematian di tangan sendiri dan mereka harus siap!

Peran mereka sangat terbukti saat berkobarnya peperangan antara mereka dengan Orde Naga saat bertempurnya Turki Ottoman dengan Wallachia pada masa Zaman Dracula.Benteng kuat Konstantinopel (sekarang istanbul) pun ditembus mereka saat bertempur melawan kerajaan Bizantium.Pasukan khusus Ottoman Turki ini pula yang akhirnya menamatkan riwayat Drakula, Sang Pengkhianat.Mereka juga sempat bertugas semasa PD-I di tanah arab membendung pasukan Inggris di Tripoli.

Sejarah Yanisari tak bisa dilepaskan dari munculnya Kapikulu. Kapikulu merupakan pasukan khusus yang pada awalnya digunakan untuk mengawal dan melindungi keluarga kerajaan. Sebagian besar anggota Kapikulu merupakan tawanan perang yang kemudian memeluk Islam. Mereka ini kemudian dilatih menjadi pribadi-pribadi tangguh dengan tugas utama mengawal raja dan keluarga kerajaan dari ancaman musuh. Dari anggota Kapikulu yang terbaik inilah anggota Yanisari direkrut.

Keanggotaan Yanisari makin meningkat saat Murad II naik tahta. Selain untuk melawan Orde Naga (Pasukan khusus yang dimiliki pasukan salib), Yanisari juga digunakan untuk melindungi Sultan dari lawan politiknya. (masa Sultan Murad II merupakan masa perang saudara yang berlangsung cukup lama). Selain mengambil orang-orang pilihan dari Kapikulu, Yanisari juga terdiri dari pemuda-pemuda Turki dan keluarganya.

Sebagai unit khusus dan sangat rahasia, perekrutan anggota Yanisari sangatlah tertutup. Siapapun yang menjadi anggota Yanisari, maka keluarganyapun tidak akan mengetahuinya, dan rahasia tersebut akan dibawa sampai ajal menjemput. Untuk menjaga kerahasiaan inilah perekrutan dilakukan secara turun temurun. Misal ketika seorang bapak menjadi anggota Yanisari, maka ia akan mempersiapkan anaknya untuk menjadi anggota Yanisari. Dan saat sang bapak meninggal atau pensiun, maka keanggotaannya akan diteruskan oleh sang anak. Tradisi ini dijaga sampai berabad-abad kemudian. Anggota Yanisari mendapatkan gaji tetap yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali. Mereka juga diberikan sebuah lencana dari sultan untuk membedakan mereka dari prajurit lain. Lencana inilah yang akan diwariskan oleh seorang bapak kepada anaknya bila sang bapak akan pensiun.

Sebagai pasukan khusus, Anggota Yanisari dilengkapi dengan senjata api dan semacam granat tangan. Pada masa itu, senjata api adalah senjata paling modern dan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menggunakannya. Selain dilatih cara berperang, anggota Yanisari juga dibekali dengan ketrampilan lain seperti memasak, mengobati, memasang senjata dan kerja-kerja teknis lain. Diharapkan dengan ini pasukan Yanisari mampu bertahan dalam segala situasi.

Komando Yanisari dipegang langsung oleh sultan dan hanya sultan yang mengetahui siapa saja anggota Yanisari. Dengan system ini tak mengherankan Yanisari berkembang sangat solid dan rahasia. Para Jannisaries ini kehilangan status mereka semasa bubarnya kerajaan Turki Ottoman.Pasukan ini dibubarkan dan anggotanya menyebar ke pelosok dunia,ada yang menetap di Turki,menjadi perompak,tentara bayaran,pengelana,dll. Namun,beberapa versi cerita menyatakan Yanisari tetap Eksis hingga masa kini namun mereka bersembunyi dan merahasiakan keberadaan mereka,serupa dengan Orde Naga.Sepertinya mereka masih ngotot melawan Orde naga setelah ratusan tahun dan berniat membongkar rahasia Orde naga..

Minggu, 12 September 2010

JC OEVAANG OERAY

0 komentar


Johannes Chrisostomus Oevaang Oeray yang lebih dikenal dengan JC Oevaang Oeray salah seorang tokoh penting Kalimantan Barat. Ia lahir 18 Agustus 1922 di Tanjung Kuda, Melapi I, Kapuas Hulu. Ayah dan ibunya Ledjo dan Hurei beragama Khatolik. Kedua orangtuanya suku Dayak yang bekerja sebagai penoreh karet dan petani ladang berpindah. Ia merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Saudaranya yang lain Ding Oeray, Mering Oeray dan Tepo Oeray.

Sejak kecil Oevaang Oeray menunjukkan semangat tinggi bagi diri dan bangsanya untuk terlepas dari kehidupan yang tertinggal. Ia mempunyai sikap tidak mudah berputus asa dan berpandangan luas. Penampilannya sederhana, ramah, ulet, berjiwa sosial dan suka menolong siapa saja yang memerlukan bantuannya. Keinginan untuk maju menjadi tekad utamanya karena ia tidak ingin kehidupannya, baik secara pribadi maupun sukunya tetap tertinggal di mata bangsa penjajah Belanda.

Oevaang Oeray mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) di desanya. Setelah menyelesaikan sekolah rakyat selama enam tahun, melanjutkan ke Sekolah Guru dan Sekolah Seminari Nyarumkop 6 tahun. Setelah tamat dari Sekolah Seminari, ia sempat melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pastor. Tetapi karena terjadi perbedaan pendapat antara dirinya dengan salah seorang Pastor Belanda, ia dihukum dan tidak diperbolehkan meneruskan sekolah Pastornya.

Sejak bersekolah di Seminari Nyarumkop, Oevaang Oeray mempunyai pemikiran memperbaiki kondisi sosial masyarakat Dayak melalui perjuangan politik. Pada 1941, ia menulis surat kepada para guru sekolah-sekolah Katholik se-Kalimantan Barat yang sedang mengadakan retreat tahunan di Sanggau untuk mengajak mereka peduli kepada kondisi sosial masyarakat Dayak.

Pemikirannya tersebut disambut baik oleh peserta retreat yang pada waktu itu dipimpin oleh tokoh-tokoh guru Khatolik seperti A.F. Korak, J. R. Gilling dan M. Th. Djaman. Dari pertemuan tersebut berhasil dicetuskan suatu kebulatan tekad yang menyatakan bahwa seluruh peserta retreat bersepakat memperjuangkan nasib masyarakat Dayak melalui perjuangan politik. Peristiwa tersebut merupakan cikal bakal dari pertumbuhan Partai Persatuan Dayak (PD), yang sebelumnya didahului dengan kelahiran Dayak In Action (DIA) atau Gerakan Kebangkitan Dayak. Organisasi ini dibentuk pada 30 Oktober 1945 di Putussibau di bawah pimpinan FC. Palaunsuka, salah seorang guru sekolah rakyat.

Pertumbuhan organisasi Dayak In Action (DIA) yang kemudian menjadi Partai Persatuan Dayak (PD) mengalami perkembangan, di mana pada setiap benua atau desa dibentuk komisariat yang kedudukannya disejajarkan dengan Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Akibat perkembangan politik yang meningkat, maka pada akhir Desember 1946, Partai PD mengadakan rapat paripurna yang menghasilkan keputusan untuk memindahkan kedudukan partai dari Putussibau ke Pontianak. Kemudian melalui keputusan musyawarah bersama 1 Januari 1947, Oevaang Oeray diangkat sebagai Ketua Umum Partai PD.

Setelah menyelesaikan sekolahnya, Oevaang Oeray bekerja sebagai guru di kampungnya. Kemudian diangkat menjadi pegawai negeri. Pekerjaan ini terus dilakukannya sampai kedatangan bangsa Jepang di Kalimantan Barat, 1942. Ia mempersunting Bernadetha Boea, seorang gadis dari desanya sendiri. Ia dan istrinya beberapa kali berpindah tempat tinggal karena berbagai tugas yang diembannya. Sampai akhir hayatnya, Oevaang Oeray dan istrinya tidak dikaruniai anak sehingga mereka mengambil anak angkat yaitu David Dungo Ding, Anna Maria dan Hubertus Tekuwan. Pada 1946, ia mendapat kesempatan mengikuti pendidikan selama satu tahun di MOSVIA (Meddelbare Opleiding School Voor Indische Amtenaar) atau sekolah Pamong Praja di Makassar, Sulawesi Selatan, seangkatan dengan Alm Aliaswat Saleh dan AA Baramuli. Setelah selesai mengikuti pendidikan di MOSVIA, ia kembali ke Kalimantan Barat.

Pada 12 Mei 1947, Letnan Gubernur Jenderal Dr HJ Van Mook menandatangani Statuut Kalimantan Barat, di mana Karesidenan Kalimantan Barat berubah menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), dengan Kepala Daerah Sultan Hamid II dan wakilnya Masyhur Rifai. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Daerah dibantu oleh badan yang disebut Dagelijk Bestuur atau Badan Pemerintah Harian (BPH), yang terdiri dari JC Oevaang Oeray, AF. Korak, Lim Bak Meng, Tio Kiang Sun dan HM. Sauk. Dengan diangkatnya Oevaang Oeray sebagai anggota BPH pada pemerintahan DIKB, maka sejak 12 Mei 1947, A. Djelani diangkat sebagai Kepala Kantor Urusan Dayak DIKB dan sekaligus sebagai Ketua Umum Partai PD menggantikan Oevaang Oeray.

Upaya Belanda membentuk DIKB mendapat tentangan keras dari berbagai organisasi politik yang ada di Kalimantan Barat. Mereka menilai dengan dibentuknya DIKB merupakan suatu usaha Belanda untuk menjauhkan rakyat Kalimantan Barat dari pemerintah Republik Indonesia. Pihak republiken menganggap bahwa perubahan status Kalimantan Barat menjadi DIKB merupakan suatu perjanjian politik (Politik Kontrak) dengan Belanda. Dengan demikian berarti Belanda mengakui DIKB dengan pemerintah sendiri dan mengakui pula Dewan Kalimantan Barat (DKB) sebagai penyelenggara kekuasaan tertinggi.

Pada 23 Maret 1948, di Pontianak diadakan pemilihan anggota DKB untuk seluruh daerah Kalimantan Barat. Dari hasil pemilihan, suara terbanyak diperoleh dr M Soedarso dan Masyhur Rifai. Tetapi, karena dr Soedarso masih berada di dalam penjara maka kedudukannya digantikan oleh Masyhur Rifai. Kemudian pada 12 Mei 1948, diumumkan susunan anggota DKB baru yang anggotanya ada yang diangkat oleh pemerintah DIKB dan ada yang dipilih. Anggota DKB yang diangkat adalah Oevaang Oeray, Lim Bak Meng, Muhammad Saleh dan WN. Nieuwenhuysen. Anggota DKB dari Swapraja yang diangkat oleh pemerintah adalah Tengku Muhammad, Ade Djohan dan Gusti Ismail. Sedangkan anggota DKB hasil pemilihan adalah FC. Palaunsuka, Masyhur Rifai, Tio Khian Sun dan F. Bradenburg Van der Groden.

Pembentukan DIKB dan DKB mendapat tentangan dari masyarakat dan berbagai organisasi politik seperti Gabungan Politik Indonesia (GAPI), Persatuan Buruh Indonesia (PBI) dan Partai Rakyat Indonesia (PRI). Ketiga organisasi tersebut sangat mencela tindakan elit yang telah menandatangani status itu. Pada 26 November 1949, anggota-anggota GAPI yang berhaluan keras mendirikan Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB) untuk menentang adanya DIKB dan DKB. Mereka mempunyai keinginan agar Kalimantan Barat bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bukan sebagai sebuah negara bagian.

Untuk mewujudkan keinginan tersebut, KNKB melakukan aksi pemogokan umum bersama-sama dengan buruh, pegawai pemerintah maupun swasta. Akibat aksi tersebut, ketenangan umum dan aktifitas perekonomian menjadi terganggu. Untuk memulihkan keadaan akibat aksi mogok umum tersebut, Pemerintah DIKB kemudian menangkap ketua KNKB, SH. Marpaung beserta pengurus lainnya yang dianggap sebagai penggerak aksi pemogokan.

Pada 12 Maret 1950, Komisaris Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diwakili Mr. Indra Kusuma dan M Soeparto tiba di Pontianak. Kedatangan mereka untuk menangani ketegangan antara KNKB dengan pemerintah DIKB. Komisaris RIS kemudian mengadakan tatap muka dengan pemerintah DIKB dan KNKB. Perundingan berjalan dengan tegang karena pada prinsipnya KNKB tetap mempertahankan tuntutannya yang menginginkan Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perundingan antara pemerintah DIKB – Komisaris RIS - KNKB dilaksanakan kembali pada 17 Maret 1950. Perundingan yang kedua tersebut menghasilkan keputusan bahwa akan segera dibentuk sebuah Komisi oleh Menteri Dalam Negeri RIS yang akan membuat peraturan pemilihan anggota DKB. Anggota Komisi tersebut beranggotakan 7 orang dengan perincian 3 orang dari DKB, 3 orang dari KNKB dan 1 orang dari RIS yang akan menjadi ketua Komisi.

Berdasarkan hasil keputusan perundingan 17 Maret 1950 di atas, Menteri Dalam Negeri RIS Mr Ide Anak Agung Gde Agung kemudian membentuk suatu Komisi untuk pemilihan anggota DKB yang anggotanya terdiri dari Mr. R. Suwarjo dari RIS sebagai ketua Komisi, Oevaang Oeray, Ade Muhammad Djohan, Tio Khian Sun dari DKB dan SH. Marpaung, Uray Bawadi, Ismail Hamzah dan Djenawi Tahir dari KNKB. Pada akhirnya Komisi tersebut tidak berhasil menetapkan waktu pelaksanaan pemilihan anggota DKB yang baru karena antara KNKB dan DKB yang lama terjadi perbedaan pendapat mengenai waktu pemilihan, di mana KNKB menghendaki agar pemilihan anggota DKB yang baru dilaksanakan secepatnya sementara DKB yang lama meminta waktu selama tiga bulan untuk melaksanakan pemilihan DKB yang baru tersebut.

Di tengah-tengah kesibukan dan ketegangan perundingan antara KNKB dan DKB, kemudian terdengar berita mengenai penangkapan Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara RIS, yang dianggap terlibat dalam peristiwa Westerling 23 Januari 1950 di Bandung dan menyerbu sidang Dewan Menteri 24 Januari 1950. Sultan Hamid II ditangkap 5 April 1950. Dengan tertangkapnya Sultan Hamid II maka DIKB dan kerajaan-kerajaan Swapraja yang ada di Kalimantan Barat dinyatakan bubar. Setelah DIKB dianggap bubar maka terhitung sejak 17 Agustus 1950, Kalimantan Barat menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan bergabungnya Kalimantan Barat menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia maka secara otomatis daerah Kalimantan Barat mengikuti peraturan dan kebijakan dari pemerintah pusat Republik Indonesia. Dalam bidang politik, pemerintah pusat menyelenggarakan Pemilihan Umum yang pertama pada 1955 untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif.

Demikian juga di Kalimantan Barat diselenggarakan Pemilihan Umum pada 1955. Melalui suara Partai PD dalam Pemilu 1955, Oevaang Oeray berhasil diangkat menjadi Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Barat dengan dasar Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 59/M tanggal 17 Maret 1959. Kemudian pada 22 Juni 1959, bertempat di Gedung Pertemuan Umum Kotapraja Pontianak, ia dilantik menjadi Kepala Daerah oleh Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri, RM. Soeparto. Setelah selesai upacara pelantikan, diadakan serah terima jabatan Kepala Daerah dari Residen Raden Asikin Joedadibrata kepada Kepala Daerah yang baru JC Oevaang Oeray.

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, DPRD Tingkat I Kalimantan Barat melalui sidang 14 November 1959, menetapkan nama calon Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat. Calon yang terpilih terdiri dari 2 orang, yaitu Oevaang Oeray (PD) dan RPN. Lumbang Tobing (PNI). Dari dua calon tersebut ternyata sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 464/M tanggal 24 Desember 1959, ditetapkan. Oevaang Oeray sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat terhitung sejak 1 Januari 1960 yang dijabatnya sampai 1966.

Perlu diketahui bahwa pada waktu itu kedudukan Gubernur dan Kepala Daerah adalah terpisah. Gubernur adalah sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sedangkan Kepala Daerah adalah aparat desentralisasi sebagai kepala daerah otonom. Dengan demikian Oevaang Oeray adalah Kepala Daerah Otonom Tingkat I Kalimantan Barat yang pertama dan terakhir, karena setelah itu jabatan Gubernur dan jabatan Kepala Daerah disatukan menjadi Gubernur Kepala Daerah yang mempunyai tugas rangkap yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Selama memangku jabatannya, Oevaang Oeray berusaha memajukan daerah Kalimantan Barat. Dalam bidang pendidikan, beliau bersama-sama dengan tokoh politik, tokoh masyarakat dan pemuka agama seperti dr Soedarso, R. Wariban, Ibrahim Saleh, Aliaswat Saleh, Ismail Hamzah, Ya’ Syarif Umar dan lain-lain mendirikan Universitas Daya Nasional yang sekarang bernama Universitas Tanjung Pura di Pontianak. Dalam pembangunan sarana peribadatan, selain pembangunan gereja, ia juga memperhatikan pembangunan rumah ibadah umat Islam.

Setelah tidak lagi menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat, Oevaang Oeray dipercaya duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 1977-1982 mewakili Golongan Karya. Dan sampai akhir hayatnya, masih menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan DPD Golkar Kalimantan Barat.

Oevaang Oeray meninggal dunia 17 Juli 1986 di Pontianak karena sakit. Sehari sebelum Oevang Oeray meninggal dunia Kamis, 16 Juli 1986, di ruang rapat Kantor Gubernur Kalimantan Barat diadakan pertemuan antara Gubernur Kalimantan Barat Soedjiman dengan Pengurus Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) dan Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI). Dalam pertemuan tersebut, sebagai Ketua Eksekutif Apkindo, Oevaang Oeray berkesempatan melaporkan hasil perjalanannya di Jawa Timur, Bali dan Sumatera. Tetapi, sewaktu berbicara dalam pertemuan itu, ia menderita batuk-batuk dan sulit bernafas. Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum Sungai Jawi Pontianak. Setelah segala upaya dan usaha dilakukan untuk penyembuhan, pada 17 Juli 1986 di RSU Sungai Jawi Pontianak, ia akhirnya meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Katholik Santo Yosef di Sungai Raya Kabuaten Kubu Raya sekarang.

Dengan meninggalnya Oevaang Oeray, maka masyarakat Kalimantan Barat khususnya dan bangsa Indonesia umumnya telah kehilangan salah seorang putra terbaik bangsa yang turut berjuang memajukan harkat dan martabat rakyat melalui pendidikan dan pembangunan. Generasi muda dapat mengambil nilai-nilai perjuangan dan pengabdian Oevaang Oeray seperti sikapnya dalam usaha untuk maju dan berprestasi dalam menuntut ilmu sehingga dengan ilmu tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat bangsa dan negara Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat.

Referensi :  In Memorium JC Oevaang Oeray
                  Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Rabu, 08 September 2010

Sejarah Shinsengumi

1 komentar

 

Latar Belakang Sejarah
Setelah Jepang membuka diri pada dunia Barat mengikuti kunjungan perwira AS Komodor Matthew Perry pada 1853, situasi politik secara bertahap menjadi makin keras. Negara terbagi menjadi beberapa garis pendapat politik; satu dari beberapa kelompok pemikiran ini (yang telah ada sejak kedatangan Perry) sonnō jōi: "Hormati Kaisar, Usir Orang Asing." Pengikut radikal dari ideologi ini mulai melakukan kegiatan pembunuhan dan kekerasan di Kyoto, ibukota kerajaan. Pada 1963, dalam usaha menjawab keadaan ini, Keshogunan Tokugawa membentuk Roshigumi (浪士組), satu kelompok yang terdiri dari 234 samurai tak bertuan (rōnin), dibawah komando hatamoto Matsudaira Tadatoshi dan pimpinan Kiyokawa Hachirō (seorang ronin dinamis dari Shonai). Misi formal kelompok adalah bertindak sebagai pelindung Tokugawa Iemochi, shogun ke-14, yang mempersiapkan diri untuk mengadakan perjalanan ke Kyoto.

Fakta Sejarah
Rōshigumi, sebagaimana dinyatakan di atas, dibentuk oleh rejim Tokugawa. Meski demikian, tujuan Kiyokawa Hachirō, yang diungkapkannya menyusul kedatangan kelompok itu di Kyoto, adalah untuk mengumpulkan rōnin untuk bekerja dengan imperialis. Sebagai jawaban, tigabelas anggota Rōshigumi menjadi tigabelas anggota pendiri Shinsengumi. Anggota lain yang setia pada pemerintahan Tokugawa kembali ke Edo dan membentuk Shinchōgumi 新徴組, yang mengikuti bentuk wilayah Shōnai.

Anggota Shinsengumi aslinya dikenal sebagai Miburō (壬生浪), artinya "ronin dari Mibu," Mibu adalah wilayah kumuh di pusat Kyoto di mana mereka ditempatkan. Kendatipun, reputasi Shinsengumi menjadi kusam dengan cepat, dan panggilan mereka kemudian berubah menjadi “Serigala Mibu" (壬生狼, sama pengucapannya). Shinsengumi bisda diartikan "Kesatuan Pilihan Baru" (Shinsen berarti “baru dipilih," sementara "gumi" diartikan sebagai “kelompok," "tim," atau "pasukan"). Komandan asli Shinsengumi adalah Serizawa Kamo, Kondō Isami, and Shinmi Nishiki. Awalnya, kelompok dibagi dalam tiga faksi utama: kelompok Serizawa, kelompok Kondo, kelompok Tonouchi (daftar anggota di bawah). Meski demikian, Tonouchi dan Iesato dibunuh tak lama setelah pembentukannya.

 Setelah hilangnya Tonouchi Yoshio dan faksi ketiganya, kelompok kemudian terdiri dari dua faksi: kelompok Mito Serizawa dan anggota Shiekan Kondō Isami, keduanya berpusat di lingkungan Mibu Kyoto. Kelompok menyerahkan sebuah surat ke klan Aizu memohon ijin ke polisi Kyoto, dan membalas para revolusioner yang mendukung kaisar melawan keshogunan Tokugawa. Permohonan mereka dikabulkan.

Pada 30 September (kalender bulan 18 Agustus), klan Chōshū dipaksa keluar dari dewan Kekaisaran oleh rejim Tokugawa, klan Aizu dan klan Satsuma. Semua anggota Mibu Rōshigumi dikirim untuk membantu Aizu dan membantu menghadang Chōshū dari dewan kekaisaran dengan mengawal gerbang-gerbangnya. Ini menyebabkan perpindahan kekuasaan di dunia politik di Kyoto, dari kekuatan ekstrem Chōshū yang anti-Tokugawa ke kekuatan Aizu yang pro-Tokugawa. Nama baru "Shinsengumi" disebutkan telah diberikan ke kelompok ini oleh Dewan Kekaisaran atau Matsudaira Katamori (daimyo klan Aizu) atas pekerjaan mereka dalam mengawal gerbang.

Musuh terbesar Shinsengumi adalah ronin samurai klan Mori dari Chōshū yang mendukung imperialis (dan kemudian, mantan sekutu Klan Shimazu dari Satsuma).

Ironisnya, tindakan gegabah Serizawa dan Shinmi, berimbas pada nama Shinsengumi, menyebabkan kelompok ini ditakuti di Kyoto ketika tugas mereka adalah untuk menjaga kedamaian. Pada 19 Oktober 1863, Shinmi Nishiki, yang diturunkan menjadi wakil komandan karena sebuah perkelahian dengan pegulat, dipaksa melakukan seppuku oleh Hijikata dan Yamanami. Kurang dari dua minggu kemudian, Serizawa dibunuh oleh faksi Kondō atas perintah Matsudaira Katamori.

Kasus Ikedaya Affair pada 1864, di mana mereka mencegah pembakaran Kyoto, membuat Shinsengumi terkenal dalam semalam; mereka mendapat banyak anggota baru.

Shinsengumi tetap setia ke Tokugawa Bakufu, dan meninggalkan Kyoto dengan damai di bawah pengawasan wakadoshiyori Nagai Naoyuki, tak lama setelah pengunduran diri Tokugawa Yoshinobu. Meski demikian, sebagaimana mereka ditempatkan sebagai kesatuan keamanan di Fushimi, mereka segara ikut ambil bagian dalam Perang Toba-Fushimi. Kemudian, ketika melanjutkan pertempuran di luar Edo, Isami Kondō tertangkap dan dipenggal oleh pemerintahan Meiji. Sekelompok anggota Shinsengumi di bawah Saitō Hajime bertempur dalam melindungi wilayah Aizu, dan banyak di antara mereka yang pergi ke wilayah utara di bawah Hijikata, bergabung dengan kesatuan dari Republik Ezo. Selama masa ini, Shinsengumi mampu mengembalikan kekuatanya, hingga mencapai angka di atas 100. Secara umum, kematian Toshizō Hijikata pada 20 Juni (kalender bulan 11 Mei) 1869 dilihat sebagai tanda berakhirnya Shinsengumi, meski ada sekelompok yang bertahan, di bawah Sōma Kazue, yang sebelumnya berada di bawah pengawasan Nagai Naoyuki di Benten-daiba, menyerah secara terpisah.

Sedikit dari anggota inti, seperti Nagakura Shinpachi, Saito Hajime, dan Shimada Kai, bertahan dari bubarnya kelompok. Anggota lainnya, seperti Takagi Teisaku, malah menjadi tokoh terkemuka di masyarakat.

Anggota-anggota Kelompok
Pada puncaknya, Shinsengumi memiliki sekitar 300 anggota. Mereka adalah golongan samurai pertama masa Tokugawa yang memperbolehkan mereka yang bukan berasal dari golongan samurai seperti petani dan pedagang untuk bergabung. Sebelumnya, Jepang memiliki system hierarki golongan yang ketat. Banyak yang bergabung dengan kelompok ini karena keinginan untuk menjadi samurai dan terlibat di dunia politik. Meski demikian, adalah anggapan yang salah bahwa sebagian besar anggota Shinsengumi berasal dari golongan bukan samurai. Dari 106 anggota Shinsengumi (dari total 302 anggota saat itu), terdiri atas 87 samurai, 8 petani, 3 pedagang, 3 dokter, 3 pendeta, dan 2 tukang kayu. Beberapa pemimpin, seperti Yamanami, Okita, Nagakura, dan Harada, terlahir sebagai samurai.

Peraturan Shinsengumi
Inti dari Peraturan Shinsengumi sebagian besar ditulis oleh Hijikata Toshizo. Intinya termasuk lima pasal, melarang tindakan sebagai berikut:
1. Menghindar dari nilai-nilai samurai (Bushido)
2. Meninggalkan Shinsengumi
3. Mengumpulkan uang sepihak
4. Ikut campur dalam urusan orang lain
5. Maju dalam pertarungan pribadi

Hukuman dari pelanggaran atas salah satu aturan ini adalah seppuku. Sebagai tambahan, Shinsengumi mempunyai aturan-aturan ini:
1. Jika pimpinan unit terluka di pertempuran, seluruh anggota unit harus bertempur dan mati di tempat.
2. Meski dipertempuran di mana tingkat kematiannya tinggi, tidak diperbolehkan untuk menarik jasad yang meninggal, kecuali jasad pimpinan unit.

Yang paling terkenal di antaranya adalah: "Jika seorang anggota Shinsengumi maju ke pertempuran melawan seorang asing, apakah sedang bertugas atau tidak, jika dia terluka dan tidak dapat membunuh musuhnya, membiarkan dia melarikan diri, meski hanya terluka di punggung, seppuku tetap diperintahkan."

Hijikata memaksa mereka untuk mengikuti aturan-aturan yang sangat keras untuk membuat kelompok menjiwai semangat bushido (atau samurai), dan untuk menciptakan ketakutan dalam kelompok sehingga mereka mau mematuhi perintah-perintah Hijikata and Kondo secara mutlak. Aturan-aturan ini adalah alasan utama mengapa mereka tumbuh menjadi sebuah kekuatan yang tangguh dan ditakuti, yang terdiri dari ratusan ahli ilmu pedang, masing-masing dibebani dengan sanksi resmi dan kesiapan untuk membunuh yang tak tergoyahkan.

Ada beberapa anggota yang dipaksa melakukan seppuku karena pelanggaran aturan, atau terbunuh karena menjadi mata-mata.

Seragam
Anggota Shinsengumi sangat mencolok dalam peperangan karena seragam mereka yang berbeda.mengikuti perintah dari kapten Shinsengumi Serizawa Kamo, seragam standar terdiri dari haori dan hakama di atas kimono, dengan tali putih yang disebut tasuki mengelilingi dada dan diikat di belakang. Fungsi tasuki adalah untuk mencegah lengan kimono dari menghalangi pergerakan tangan. Keunikan seragam yang paling utama adalah pada haori, yang berwarna asagiiro (浅葱色, umumnya biru muda, tapi bisa juga kuning muda). Lengan haori dihiasi dengan "garis-garis gunung putih," menghasilkan pakaian yang sangan cerah, sangat berbeda dengan yang umum coklat, hitam, dan abu-abu yang ditemukan pada pakaian pejuang. Di tengah pertempuran, seragam Shinsengumi menyediakan tidak hanya berarti memudahkan identifikasi, tapi juga merupakan ancaman yang mudah terlihat oleh musuh.


Referensi : Jiraiya Akatsuki

Senin, 06 September 2010

AL CAPONE

0 komentar

Alphonse Gabriel Capone (lahir 17 Januari 1899 – meninggal 25 Januari 1947 pada umur 48 tahun), secara populer dikenal sebagai Al Capone atau Scarface, adalah seorang GangsterAmerika Serikat yang memimpin sindikat kriminal memiliki dedikasi terhadap penyeludupanmenjual secara gelap minuman keras dan aktivitas ilegal lainnya selama Era Pelarangan1920-an dan 1930-an. dan tahun

Mafia sendiri berasal dari bahasa Sisilia kuno, Mafiusu, yang diduga mengambil kata Arab mahyusu yang artinya tempat perlindungan atau pertapaan. Setelah revolusi pada 1848, keadaan pulau Sisilia morat-marit sehingga mereka perlu membentuk ikatan suci yang melindungi mereka dari serangan bangsa lain dalam hal ini bangsa Spanyol. Nama mafia mulai terkenal setelah sandiwara dimainkan pada 1863 dengan judul I mafiusi di la Vicaria (Cantiknya rakyat Vicaria), yang menceritakan tentang kehidupan pada gang penjahat di penjara Palermo.

Sekalipun tidak jelas siapa yang mendirikannya, namun pendirian organisasi ini mula-mula berdasarkan ikatan persaudaraan diantara sesama warga keturunan pulau Sisilia. Dalam perjalanan sejarah, kelompok yang semula kecil menjadi besar dan membutuhkan dukungan keuangan yang lebih banyak sehingga misi pendirian organisasi mulai bergeser menjadi mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan tidak mengindahkan tata aturan masyarakat yang lain. Yang mengherankan para anggotanya merasa tidak melakukan tindakan kriminal sebab di mata mereka, apa yang dilakukannya adalah sekedar memberikan proteksi atau perlindungan terhadap kelompok lain yang mengalami tekanan atau pemerasan. Sehingga pelaku merasa bangga dan terhormat dapat “menolong” seseorang dari kesusahan. Sejak itulah kata Mafiusu berubah arti menjadi orang atau organisasi “terhormat.” Nama lain dari Mafia adalah Cosa Nostra, anggotanya selalu menulis kata ini dengan penuh hormat yaitu ditulis dengan awal huruf besar. Pengertian Cosa Nostra sendiri adalah “our thing” atau sama-sama satu bangsa, satu pemikiran atau “orang kita.” Namun dalam buku terjemahan Mafia Manager oleh Bern Hidayat disebut bahwa terjemahan Cosa Nostra adalah “urusan kita.

Al Capone Sendiri lahir pada tanggal 17 Januari dengan nama asli Alphonse Gabriel Capone, yang merupakan anak keempat dari pasangan Gabriele dan Teresina Capone, imigran asal Italia Selatan yang berimigrasi ke Amerika Serikat tahun 1893. Di Amerika keluarga Capone pertama tinggal di 95 Navy Street. Saat Al berusia 11 tahun, keluarga Capone pindah ke 21 Garfield Place di Park Slope, Brooklyn.
Al Capone putus dari sekolah umum di Brooklyn, ia kemudian bekerja serabutan di Brooklyn termasuk disebuah toko permen dan bowling. Selama masa itu Al Capone dipengaruhi oleh Giovanni Torrio Alias John "Papa Johnny" Torrio atau disebut juga “The Fox” yang kelak menjadi mentornya. Setelah pekejaannya sebagai pencuri kelas teri, Al Capone bergabung dengan komplotan yang terkenal buruknya yaitu Five Points Gang. kemudian dia dpekerjakan sbagai tukang pukul di Coney Island Dance Hall and Saloon oleh Frankie Yale Si Tukang Palak. Disinilah Al Capone menerima bekas luka yang membuat ia mendapat panggilan "Scarface".


Pada 30 Desember 1918, Al Capone menikah dengan Mae Josephine Coughlin seorang perempuan Irlandia dan dkaruniai seorang anak yang diberi nama Albert Francis "Sonny" Capone. Kemudian sekitar tahun 1921, Al Capone dan keluarga kecilnya mmutuskan pindah ke Chicago dan menempati rumah di 7244 South Prairi Ave, selatan kota Chicago. Capone datang atas undangan Torrio yang sedang mencari peluang usaha berdagang barang² gelap. Masa itu Torrio memperoleh kekayaan dari hasil kejahatan James "Big Jim" Colosimo yang terbunuh (dugaan dibunuh oleh Frankie Yale, walaupun tuduhan itu tidak terbukti karena kekurangan bukti) setelah menolak memasuki bidang bisnis baru dan Al Capone pada masa itu juga telah didakwa melakukan pembunuhan.

Setelah pemilihan walikota 1923, walikota Chicago Terpilih William Emmet Dever melakukan reformasi, pemerintah kota Chicago mulai menaruh tekanan terhadap gangster dan penjahat di kota Chicago. Hal ini membuat para gangster dan penjahat gerah. Untuk menaruh markas besarnya diluar kota yurisdiksi, organisasi Capone (Chicago Outfit) masuk dengan cara kekerasan ke dalam Cicero, Illinois. Mereka bertarung dengan penjahat Cicero Myles O'Donnell dan William "Klondike" O'Donnell untuk memperbutkan kekuasaan di Pusat Kota Cicero. Kemenangan ada ditangan Capone, dan itu merupakan kemenangan Capone yang paling luar biasa; pengambil alihan pemerintah kota Cicero pada 1924. Perang tersebut mengakibatkan lebih dari 200 orang tewas.

Capone (lewat pengikutnya Murray The Hump), mendalangi pembunuhan yang paling terkenal dalam dunia gang abad 19, Saint Valentine's Day Massacre 1929. Di chicago, pada 14 Februari 1929, terjadi peristiwa penembakan tujuh anggota gangster Mafia Bugs Moran secara kejam. Meskipun rincian dari pembunuhan disebutkan hanya tujuh korban yang dtemukan disebuah garasi 2212 North Clark Street tapi diperkirakan sesunguhnya korban tewas lebih dari itu. Dari kejadian itu langsung dihubungkan dengan Capone dan para pengikutnya terutama Murray The Hump dan Jack "Machine Gun" McGurn tapi tidak seorang pun pernah didakwa atas peristiwa tersebut.

Akhir dari sepak terjang Al Capone sendiri bukan karena pembunuhan, penganiayaan, perampokan, pencurian ataupun penyuapan, namun karena kasus penyelundupan. Al Capone ditangkap saat menyelundupkan minuman keras oleh agen FBI yang bernama Eliot Ness, yang sudah mengincar Al Capone sejak lama. Kasus itulah yang akhirnya menjadi pintu bagi para penegak hukum di AS untuk mengadilinya secara berlapis di meja hijau.