Selasa, 30 Agustus 2011

SEMAUN

0 komentar

Semaun (lahir di kota kecil Curahmalang, Mojokerto, Jawa Timur sekitar tahun 1899 dan wafat pada tahun 1971) adalah Ketua Umum Pertama Partai Komunis Indonesia (PKI).

Masa kecil
Semaun adalah anak Prawiroatmodjo, pegawai rendahan, tepatnya tukang batu, di jawatan kereta api. Meskipun bukan anak orang kaya maupun priayi, Semaoen berhasil masuk ke sekolah Tweede Klas (sekolah bumiputra kelas dua) dan memperoleh pendidikan tambahan bahasa Belanda dengan mengikuti semacam kursus sore hari. Setelah menyelesaikan sekolah dasar, ia tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Karena itu, ia kemudian bekerja di Staatsspoor (SS) Surabaya sebagai juru tulis (klerk) kecil.

Politik
Kemunculannya di panggung politik pergerakan dimulai di usia belia, 14 tahun. Saat itu, tahun 1914, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) afdeeling Surabaya. Setahun kemudian, 1915, bertemu dengan Sneevliet dan diajak masuk ke Indische Sociaal-Democratische Vereeniging, organisasi sosial demokrat Hindia Belanda (ISDV) afdeeling Surabaya yang didirikan Sneevliet dan Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel, serikat buruh kereta api dan trem (VSTP) afdeeling Surabaya. Pekerjaan di Staatsspoor akhirnya ditinggalkannya pada tahun 1916 sejalan dengan kepindahannya ke Semarang karena diangkat menjadi propagandis VSTP yang digaji. Penguasaan bahasa Belanda yang baik, terutama dalam membaca dan mendengarkan, minatnya untuk terus memperluas pengetahuan dengan belajar sendiri, hubungan yang cukup dekat dengan Sneevliet, merupakan faktor-faktor penting mengapa Semaoen dapat menempati posisi penting di kedua organisasi Belanda itu.

Di Semarang, ia juga menjadi redaktur surat kabar VSTP berbahasa Melayu, dan Sinar Djawa-Sinar Hindia, koran Sarekat Islam Semarang. Semaoen adalah figur termuda dalam organisasi. Di tahun belasan itu, ia dikenal sebagai jurnalis yang andal dan cerdas. Ia juga memiliki kejelian yang sering dipakai sebagai senjata ampuh dalam menyerang kebijakan-kebijakan kolonial.

Pada tahun 1918 dia juga menjadi anggota dewan pimpinan di Sarekat Islam (SI). Sebagai Ketua SI Semarang, Semaoen banyak terlibat dengan pemogokan buruh. Pemogokan terbesar dan sangat berhasil di awal tahun 1918 dilancarkan 300 pekerja industri furnitur. Pada tahun 1920, terjadi lagi pemogokan besar-besaran di kalangan buruh industri cetak yang melibatkan SI Semarang. Pemogokan ini berhasil memaksa majikan untuk menaikkan upah buruh sebesar 20 persen dan uang makan 10 persen.

Bersama-sama dengan Alimin dan Darsono, Semaoen mewujudkan cita-cita Sneevliet untuk memperbesar dan memperkuat gerakan komunis di Hindia Belanda. Sikap dan prinsip komunisme yang dianut Semaoen membuat renggang hubungannya dengan anggota SI lainnya. Pada 23 Mei 1920, Semaoen mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia. Tujuh bulan kemudian, namanya diubah menjadi Partai Komunis Indonesia dan Semaoen sebagai ketuanya.

PKI pada awalnya adalah bagian dari Sarekat Islam, tapi akibat perbedaan paham akhirnya membuat kedua kekuatan besar di SI ini berpisah pada bulan Oktober 1921. Pada akhir tahun itu juga dia meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Moskow, dan Tan Malaka menggantikannya sebagai Ketua Umum. Setelah kembali ke Indonesia pada bulan Mei 1922, dia mendapatkan kembali posisi Ketua Umum dan mencoba untuk meraih pengaruhnya kembali di SI tetapi kurang berhasil.

Pengasingan
Pada tahun 1923, VSTP merencanakan demonstrasi besar-besaran dan langsung dihentikan oleh pemerintah kolonial Belanda, dan setelah itu Semaun diasingkan ke Belanda. Selama masa pengasingannya dia kembali ke Uni Sovyet, dimana dia tinggal disana lebih dari 30 tahun. Pada masa itu dia tetap menjadi aktivis tapi hanya dalam aksi-aksi terbatas, berbicara beberapa kali di Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa di Belanda pada masa itu. Dia juga sempat belajar di Universitas Tashkent untuk beberapa waktu.
Selama pembuangan ke Eropa, Semaoen aktif di Executive Committee of the Comintern, Komite Eksekutif Komunis Internasional (ECCI). Setelah beberapa tahun tinggal di Belanda, Semaoen lalu menetap di Uni Soviet dan menjadi warga negara di sana. Ia pernah bekerja sebagai pengajar bahasa Indonesia dan penyiar berbahasa Indonesia pada radio Moscow. Puncak "karirnya" adalah ketika diangkat oleh Stalin menjadi pimpinan Badan Perancang Negara (Gozplan) di Tajikistan.

Setelah masa pengasingannya dia kembali ke Indonesia, dan pindah ke Jakarta. Kepulangan Semaoen ke Indonesia pada tahun 1953 merupakan inisiatif Iwa Kusumasumantri. Semaoen, Iwa, dan Sekjen Partai Komunis Iran mengawini tiga putri kakak-adik yang saat itu bekerja dalam Comintern. Saat kembali ke Indonesia dalam usia setengah abad lebih, Semaoen telah terputus dari PKI, partai yang ia dirikan. Dari tahun 1959 sampai dengan tahun 1961 dia bekerja sebagai pegawai pemerintah. Dia juga mengajar mata kuliah ekonomi di Universitas Padjadjaran, Bandung.

Karya Dan Pemikiran
Semaoen juga seorang yang padat dalam berkarya. Kebanyakan karyanya ditulis di dalam surat kabar beraliran kiri. Pemikiran Semaoen dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni oleh Snevliet dan agama Islam walau sempat dalam karyanya ia memprotes pemikiran pribumi yang terlalu percaya akan kegaiban yang akan mengatur dan menyelamatkan mereka. Diantara karya-karya Semaoen adalah Penuntun Kaum Buruh yang dibuat untuk para anggota PKI, Hikayat Kadiroen yang menceritakan seorang priyayi Marxsis yang sangat peduli kepada rakyatnya dan Berbareng Bergerak.

Dalam pergerakan, ia menerima paham Marx tentang protes sosial kepada pemerintahan Hindia Belanda. Ia menganggap bahwa Pemerintah telah membiarkan warga pribumi terjatuh dalam kemiskinan karena usaha kapitalisasi di Indonesia terutama di Jawa. Ia berharap bahwa suatu hari nanti akan ada suatu keadaan mirip dengan Jawa Kuno yang membiarkan warganya hidup dengan apa yang ia inginkan. Dan hal itu hanya akan terjadi jika pemerintahan Sovyet hadir di antara mereka.

Guna menguatkan perjuanganya, ia bersama dengan kaum komunis internasional masuk dalam Komitern yang diadakan di Rusia. Namun sayang sekali jika dalam usahanya tersebut dengan tokoh-tokoh timur lain seperti Tan Malaka, Darsono atau Alimin tidak digubris dengan baik. Dewan Komitern lebih cenderung tertarik bagaimana memerahkan Eropa ketimbang membantu pergerakan di Asia, seperti di India atau Indonesia yang saat itu menjadi salah satu corong utama pergerakan di daerahnya.

Jumat, 26 Agustus 2011

MR. ASSAAT (Pejabat Presiden Republik Indonesia 1949-1950)

0 komentar
Mr. Assaat adalah tokoh pejuang Indonesia, pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). lahir di Dusun Pincuran Landai, Kanagarian Kubang Putih, Banuhampu, Agam, Sumatera Barat, 18 September 1904 – meninggal di Jakarta, 16 Juni 1976 pada umur 71 tahun. Bagi orang-orang yang mengenalnya Asaat adalah pribadi yang sederhana. Ketika menjadi Pejabat Presiden, menurut pers, beliau tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia, lebih memilih panggilan Saudara Acting Presiden. yang menjadi agak canggung pada waktu itu. Akhirnya Assaat bilang, panggil saja saya "Bung Presiden". Assaat bukan ahli pidato, dia tidak suka banyak bicara, tetapi segala pekerjaan dapat diselesaikannya dengan baik, semua rahasia negara dipegang teguh. Beliau taat melaksanakan ibadah, tak pernah meninggalkan salat lima waktu. Dan adalah pemimpin yang sangat menghargai waktu, seperti juga Bung Hatta.
Assaat belajar di sekolah agama "Adabiah" dan MULO Padang, selanjutnya ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta. Merasa tidak cocok menjadi seorang dokter, dia keluar dari STOVIA dan melanjutkan ke AMS (SMU sekarang). Dari AMS, Assaat melajutkan studinya ke Rechts Hoge School (Sekolah Hakim Tinggi) juga di Jakarta. Mr. Assaat menikah dengan Roesiah, dari Sungai Pua di Rumah Gadang Kapalo Koto 12 Juni 1949, Dikaruniai dua orang putera dan seorang puteri.


Ketika menjadi mahasiswa RHS, ia memulai berkecimpung dalam gerakan kebangsaan, dalam gerakan pemuda dan politik. Saat itu Assaat giat dalam organisasi pemuda "Jong Sumatranen Bond". Karier politiknya makin menanjak dan berhasil menjadi Pengurus Besar "Perhimpunan Pemuda Indonesia". Ketika Perhimpunan Pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam "Indonesia Muda", ia terpilih menjadi Bendahara Komisaris Besar " Indonesia Muda". Dalam kedudukannya sebagai mahasiswa, Assaat masuk ke dalam politik "Partai Indonesia" atau Partindo. Dalam partai ini, Assaat bergabung dengan pemimpin Partindo seperti: Adenan Kapau Gani, Adam Malik, Amir Sjarifoeddin dll. Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan, diketahui oleh pengajar dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan walau sudah beberapa kali mengikuti ujian akhir. Tersinggung atas perlakuan itu, dia memutuskan meninggalkan Indonesia pergi ke Belanda. Di Belanda dia memperoleh gelar "Meester in de Rechten" (Mr) atau Sarjana Hukum. Sebagai seorang non-kooperator terhadap penjajahan Belanda, sekembalinya ke tanah air di tahun 1939 Mr. Assaat berpraktik sebagai advokat hingga masuknya Jepang di tahun 1942. Di zaman Jepang beliau diangkat sebagai Camat Gambir, kemudian Wedana Mangga Besar di Jakarta.
 
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Pekerjanya (BP-KNIP) pada masa revolusi dua kali mengadakah hijrah Karena situasi dianggap terlalu riskan, dan agar Revolusi Indonesia tetap berjalan. Berkedudukan awal di Jakarta, dengan tempat bersidang di bekas Gedung Komedi (kini Gedung Kesenian Jakarta) di Pasar Baru dan di gedung Palang Merah Indonesia di Jl. Kramat Raya. Sekitar tahun 1945 KNIP dipindahkan ke Yogyakarta. Kemudian pada tahun itu pula, pindah ke Purworejo, Jawa Tengah. Sampai saat situasi Purworejo dianggap kurang aman untuk kedua kalinya KNIP hijrah ke Yogyakarta. Pada saat itu Mr. Assaat duduk sebagai anggota sekretariatnya. Tidak lama kemudian dia ditunjuk menjadi ketua KNIP dan BP-KNIP. Tahun 1946-1949 (Desember) ia menjadi Ketua BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat). Ia terpilih menjadi ketua KNIP terakhir. Hingga KNIP dibubarkan, kemudian ia ditugasi sebagai Penjabat Presiden RI di kota perjuangan di Yogyakarta.


19 Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer II. Mr. Assaat ditangkap Belanda bersama Bung Karno dan Bung Hatta serta pemimpin Republik lainnya, kemudian di asingkan di Manumbing di Pulau Bangka. Desember 1949 - Agustus 1950, Mr.Asaat menjadi Acting Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta. Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat), jabatannya sebagai Penjabat Presiden pada Agustus 1950 selesai, demikian juga jabatannya selaku ketua KNIP dan Badan Pekerjanya. Sebab pada bulan Agustus 1950, negara-negara bagian RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI. Saat menjadi Acting Presiden RI, Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.


Setelah pindah ke Jakarta, Mr. Assaat menjadi anggota parlemen (DPR-RI), hinga duduk dalam Kabinet Natsir menjadi Menteri Dalam Negeri September 1950 sampai Maret 1951. Kabinet Natsir bubar, ia kembali menjadi anggota Parlemen. Pada tahun 1955 ia menjabat sebagai formatur Kabinet bersama Soekiman Wirjosandjojo dan Wilopo untuk mencalonkan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Karena waktu itu terjadi ketidak puasan daerah terhadap beleid (kebijakan) pemerintahan Pusat. Daerah-daerah mendukung Bung Hatta, tetapi upaya tiga formatur tersebut menemui kegagalan, karena secara formal, ditolak oleh Parlemen.


Ketika Presiden Soekarno menjalankan Demokrasi Terpimpin , Assaat menentangnya. Secara pribadi Bung Karno tetap dihormatinya, yang ditentangnya adalah politik Bung Karno yang seolah-olah condong ke sayap kiri Partai Komunis Indonesia. Mr. Assaat merasa terancam, karena Demokrasi Terpimpin adalah kediktatoran terselubung, ia selalu diawasi oleh intel serta PKI. Dengan berpura-pura "akan berbelanja" ia bersama keluarganya melarikan diri dengan berturut-turut naik becak dari Jl. Teuku Umar ke Jl. Sabang, dari sana dilanjutkan menuju Stasion Tanah Abang. Mr. Assaat beserta keluarga berhasil menyeberang ke Sumatera. Berdiam beberapa hari di Palembang. Ketika itu di Sumatra Selatan sudah terbentuk "Dewan Gajah" yang dipimpin oleh Letkol Barlian. Di Sumatra Barat Letkol Ahmad Husein membentuk "Dewan Banteng". Kol. Simbolon mendirikan "Dewan Gajah" di Sumatera Utara, sementara Kol. Sumual membangun "Dewan Manguni" di Sulawesi. Dewan-dewan tersebut bersatu menentang Sukarno yang dipengaruhi oleh PKI. Terbentuklah PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Assaat yang ketika itu baru tiba di Sumatera Barat bergabung dengan PRRI. Kemudian berkeliaran di hutan-hutan Sumatera, setelah Pemerintah Pusat menggempur kekuatan PRRI.


Ketika berada di hutan-hutan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Mr. Assaat sudah merasa dirinya sering terserang sakit. Dia ditangkap, dalam keadaan fisik lemah dan menjalani "hidup" di dalam penjara "Demokrasi Terpimpin" selama 4 tahun 1962-1966. Ia baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah munculnya Orde Baru.
Pada tanggal 16 Juni 1976, Mr. Assaat meninggal dirumahnya yang sederhana di Warung Jati Jakarta Selatan. Mr. Assaat gelar Datuk Mudo diantar oleh teman-teman seperjuangannya, sahabat, handai tolan dan semua keluarganya, dia dihormati oleh negara dengan kebesaran militer.